Kaidah – Kaidah Fiqhiyyah:
اَلضَّرَرُ يُزَالُ
(BAHAYA ITU HARUS DIHILANGKAN)
(BAHAYA ITU HARUS DIHILANGKAN)
Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak
ingin tertimpa bahaya atau kesusahan. Pembawaan alamiah ini membuat kebanyakan
manusia selalu berpikir pragmatis dan praktis, selalu berupaya merengguh
kebahagiaan dan berupaya menghindari bahaya-bahaya di dalam kehidupannya. Upaya
yang demikian adalah wujudan sifat manusiawi setiap orang. Dan Islam tidak
menampik realitas semacam ini, melainkan mengadopsinya dalam bingkai-bingkai
hukum yang apresiatif dan akomodatif. Sebagai bukti adalah makna yang terangkum
dalam konsep salah satu kaidah fiqh yang secara eksplisit memotivasi untuk
membuang jauh-jauh semua bahaya baik bahaya bagi diri sendiri maupun bagi orang
lain yakni kaidah al-dharru yuzallu (kemadaratan harus dihilangkan). Di
dalam makalah ini penulis akan membahas tentang kaidah al-dharru yuzallu
(kemadaratan harus dihilangkan) dan berbagai ketentuan-ketentuan yang ada di
dalamnya.
1 Pengertian Qaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ
Arti dari kaidah “ad-Dhararu
yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Jadi, konsepsi kaidah ini
memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak
menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia
menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[1]
Namun Dharar (Kemudharatan) secara etimologi adalah berasal dari
kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada
yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para
ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1.
Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak
mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini
memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas
tertentu.
2.
Abu Bakar Al Jashas,
mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang
pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia
tidak makan.”
3.
Menurut Ad Dardiri, “Dharar
ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
4.
Menurut sebagian
ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari
kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.”
5.
Menurut Asy Suyuti, “Dharar
adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi
sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari
kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti
ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan
eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam
agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
2 Sumber
Qaidah اَلضَّرَرُ
يُزَالُ
Firman Allah Swt:
وَلَا تُفْسِدُوْا
فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًاوَّطَمَعًاۗاِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ.
“Dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (Q.S Al-A’raf/7: 56)
وَابْتَغِ فِيْمَآاٰتٰىكَ
اللهُ الدَّارَالْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ
كَمَآ اَحْسَنَ اللهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ .
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S Al-Qashash/28: 77)
Sabda Rasulullah Saw.:
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ مَنْ ضَرَّضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَقَّ
شَقَّ اللهُ عَلَيْهِ .
“Tidak boleh
memudharatkan dan di mudaratkan, barang siapa yang memudharatkan, maka Allah
akan memudharatkannya, dan barang siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan
menyusahkannya.” (HR.Imam Malik)[2]
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini
banyak sekali, diantaranya: khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat,
memilih pemimpin, fasakh dalam nikah karena ada aib dan sebagainya.
3 Cabang –
Cabang Qaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ
Qaidah
Pertama:
الْضَرَرُ
لاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
(Kemadharatan itu tidak
bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain)
Kaedah
ini semakna dengan kaedah:
الْضَرَرُ
لاَيُزَالُ بَمِثْلِهِ
“
Kemudharatan
tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan
dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.
Contoh:
v
Seorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu
pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang
debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
v
Seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu
orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih
parah dari yang menerima donor.
v
Iqbal dan Subekti
adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat membutuhkan makanan untuk
meneruskan nafasnya. Iqbal, saking tidak tahannya menahan lapar nekat mengambil
getuk Manis kepunyaan Subekti yang kebetulan dibeli sebelumnya di Kantin. Tindakan
Iqbal walaupun dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya tidak bisa
dibenarkan karena Subekti juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu
kelaparan.
Kebolehan berbuat
atau meninggalkan sesuatu karena Dharar adalah untuk memenuhi penolakan
terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili
membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a. Dharar,
yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,
karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak
dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan
segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi
laki-laki yang telanjang , dan sebagainya.
b. Hajat, yaitu kepentingan
manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau
mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram.
Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka
dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c. Manfaat, yaitu kepentingan
manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut
apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya makan
makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
d. Zienah, yaitu kepentingan
manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
e. Fudhul, yaitu kepentingan
manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan
kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum saddu adz dzariah, yakni menutup
segala kemungkinan yang mendatangkan mafsadah.[3]
Qaidah Kedua:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
(Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula
dilarang)
Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:
وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّامَااضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِۗ
“Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. al-An’am:119)
فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ
“Maka barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta
tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”. (QS.Al-Baqarah:173)
Melihat ayat di atas, tidak semua
keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi
dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya
melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Contoh:
v
Seseorang di hutan
tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak
memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
v
Kebolehan mengucap
kata kufur karna dipaksa[4]
Batasan kemadharatan adalah
suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan
yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan
dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Qaidah Ketiga:
مَااُبِحُ
لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَّرِهَا
(Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudlaratan diukur
menurut kadar kemudlaratan)
Contoh kaidah :
v Kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar
dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
v Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat,
maka shalat jumat boleh dilaksanakan pada dua tempat. Ketika
dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak diperbolehkan dilakukan pada tiga
tempat.
Qaidah Keempat:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
(Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan
daripada mengambil kemaslahatan)
Contoh kaidah:
v Berkumur dan
mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan,
namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga masuknya air
yang dapat membatalkan puasanya.
v
Seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia
tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau
berbaring.
v
Meminum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan
menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan, walaupun
demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.
Qaidah Kelima:
اِذَا تَعَارَضَ الْمُفْسِدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا
بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
(Jika ada dua kemadaratan yang bertentangan, maka diambil kemadaratan yang
paling besar)
Maksudnya,
apabila ada dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya.
Contoh kaidah:
v Diperbolehkan mengadakan pembedahan
perut wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat
diselamatkan.
v Diperbolehkan shalat dengan bugil jika
tidak ada alat penutup sama sekali.
4 Kesimpulan
Bahwa permasalahan-permasalah
yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam macamnya. Tentunya ini
mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap jalan penyelesaiannya.
Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang secara
lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya
kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan
permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan.
Maka, hendaklah seorang muslim memahami secara baik tentang konsep disiplin
ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang
diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian
hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan
meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas
dari kegiatan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Azhar, USHUL
FIQIH, Medan, 2015.
Dahlan, Abdul Rahman. 2010.Ushul Fiqih. Jakarta :
Amzah.
Departmen
Agama RI. 2014. AL-JUMANATUL ‘ALI Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung:
CV. Penerbit J-ART.
Khallaf, Abdul Wahab. 2000. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu
Ushulul Fiqih). PT Raja Grafindo : Jakarta
Mudjib, Abdul. 2008. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul
al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta.
Syafe’i,
Rachmat. 2010. Ilmu USHUL FIQIH Untuk UIN, STAIN, PTAIS Cetakan IV.
Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
jazakillah khair..
BalasHapusTerimakasih telah berkunjung 😊
HapusSeharusnya sebelum mulai ke pengertian اَلضَّرَرُ يُزَالُ disebutkan dahulu contoh dari masing" yang bersangkutan dengan kaidah ini, minimalnya satu aja udah cukup:
BalasHapus1. Agama
2. Jiwa
3. Akal
4. Nasab
5. Harta
*Supaya yang melihat blog antum bisa lebih paham lagi+gak dikomen dosen pengampuh matkul QAWA'ID FIQHIYYAH🤭😂
Terimakasih atas kunjungan dan masukkannya..
HapusInsyaallah kalau sempat kita perbaiki 🙏
Jika ada tanggapan lagi.. silahkan 😊
mantap
BalasHapusTerimakasih telah berkunjung 😊
HapusIzin ambil buat makalah ya, jazakallahu khoiran akhi 🙏😊
BalasHapus