Senin, 04 April 2016

Al-Ahkam Asy-Syar’iyah: MAHKUM ALAIH



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang
  Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selaluberhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi, hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang hukum syar’i.

1.2.            Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana yang dimaksud dengan mahkum alaih ?
1.2.2.      Bagaimana dasar taklif?
1.2.3.      Bagaimana syarat-syarat taklif?
1.2.4.      Bagaimana halangan ahliyah?

1.3.  Tujuan Permasalahan
1.3.1.      Menjelaskan pengertian mengenai mahkum alaih.
1.3.2.      Menjelaskan dasar taklif.
1.3.3    Menjelaskan syarat-syarat taklif.
1.3.4    Menjelaskan halangan ahliyah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.      Pengertian Mahkum ‘Alaihi
            Para ulama usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih (اَلْمَحْكُمْ عَلَيْهِ) adalah seseorang yang dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf (اَلْمُكَلَّفُ). Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[1]
2.2.      Dasar Taklif
            Sebagai kebijaksanaan Allah SWT, perintah dan larangan (taklif : pertanggungan jawab), selanjutnya taklifi selalu disesuaikan dengan kemampuan (ahliyyah) manusia. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan, karena itu, kemampuan ini menjadi dasar adanya taklif.
            Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu mengerjakan tindakan hukum. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ. (روه ابوداود والنسائ)
            “Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali.
رُفِعَ اُمَّتِى عَنِ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ وَمَااسْتَكْرَهَ لَهُ .﴿ رواه ابن ماجه والطبرانى
Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah dan dalam keadaa terpaksa.
            Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan. Jelaslah bahwa taklif hanya diperuntukkan bagi orang yang dianggap cakap dan mampu untuk melakukan tindakan hukum.
2.3.      Syarat – Syarat Taklif
Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian, yaitu:
2.3.1.   Harus sanggup dan dapat memahami khitab syar’i atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya (baligh dan berakal).[2]  Karena orang yang tidak mampu memahami taklif, dia tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya, dan tujuannya tidak mengarah kesana. Sedangkan kemampuan memahami dalil itu hanya nyata dalam akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang punya akal itu dapat diterima pemahamanya oleh akal mereka. Karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menjangkau.[3]
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil tuntutan syara dari al-Quran dan as-Sunnah, maka jalan keluarnya untuk mengatasinya ditempuh melalui beberapa jalan, yaitu: [4]
a.    Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam beberapa bahasa, atau ke dalam bahasa mereka.
b.  Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk mempelajari bahasa arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah.
c.  Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk mempelajari bahasa asing dengan sempurna, guna menyampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah kepada orang asing itu.

2.3.2    Ahli dan patut ditaklifi. Yang dimaksud dengan ahli adalah pantas atau patut ditaklifi. Yang dimaksud mukallaf itu pantas atau patut dibebani dengan taklif. Ahli yang dimaksud terdiri dari dua bagian antara lain:
a.    Ahliyyah Wajib (اَهْلِيَةُ الْوُجُوْب) adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban. Yang dimaksud dengan: [5]
-         Hak adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.
-         Kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain.
            Jadi, ahliyatul-wujub itu adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban dari orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki, perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun waras/sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wajib.
            Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul wujub mempunyai dua keadaan saja, yaitu:
1)   Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang kurang, yaitu apabila ia layak untuk memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban, ataupun sebaliknya. Mereka mencontohkan yang pertama dengan contoh janin didalam perut ibunya. Ia mempunyai berbagai hak, karena ia berhak menerima warisan dan berhak atas pemanfaatan waqaf, akan tetapi ia tidak terbebani kewajiban untuk orang lain. Dengan demikian, ahliyyatul wujubnya adalah kurang.
2)   Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban. Ahliyyatul wujub ini tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir, ketika ia kanak-kanak, dalam usia menjelang balighnya (mumayyiz), dan setelah ia baligh. Dalam keadaan apapun ia berbeda pada periode dari perkembangan kehidupannya, ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna. Sebagaimana telah kami kemukakan tidak ada seorang manusia pun yang tidak mempunyai ahliyyatul wujub.
b.    Ahliyyah Ada’ (اَهْلِيَةُ الاَدَاءَ ) adalah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’.[6] Ucapan dan perbuatannya dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur daripadanya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyatul ada ialah tamyiz. Oleh karena itu manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada hanyalah manusia yang mumayiz saja.
            Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyah ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu:
1)   Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ahliyyah ada’, atau sama sekali sepi daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia berapapun. Maka masing-masing anak dan orang gila itu, karena tidak mempunyai akal, mereka tidak mempunyai keahlian melaksanakan, dan dari pada masing-masing mereka, tidak terjadi pengaruh-pengaruh syara’ atas ucapannya dan tidak pula atas perbuatannya. Inilah arti pendapat fuqaha yang berbunyi :
                 عَمْدُ الكِّفْلِ أَوِ الْمَجْنُوْتِ جَطَاٌ
    Kesenjangan anak-anak atau orang gila, adalah keliru (luput)
       Karena selama tidak ada akal, tidak terdapat tujuan, maka tidak terdapat pula unsur kesenjangan.[7]
2)   Ada kalanya ia adalah kurang ahliyyah ada’-nya. Yaitu orang yang telah pintar tapi belum baligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya, karena sesungguhnya orang yang kurang waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya, bukan tidakl berakal, Ia hanyalah lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi, hukumnya sama dengan anak kecil yang mumayyiz.
3)   Ada kalanya ia mempunyai ahliyyah ada’ yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh, ahliyyah ada’ yang sempurna terwujud dengan kebalighan manusia dalam keadaan berakal.
2.4.      Halangan Ahliyyah
            Hal-hal yang menggugurkan taklif dalam ilmu ushul fikih disebut:       عَوَارِضُ الأَهْلِيَّةِ (hal-hal yang menghilangkan keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu:

2.4.1.      سَمَاوِيَّةُ عَوَرِضُ ( hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi)
                                    Artinya diluar usaha dan kehendak manusia, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia. Seperti gila, dungu, agak kurang waras akalnya, sakit yang berlanjut kematian dan lupa.

2.4.2.        كَسْبِيَةٌ عَوَرِضُ (hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia).
                                    Maksudnya, halangan yang disebabkan perbuatan manusia. Seperti mabuk, terpaksa, bodoh, dan hutang.[8]

BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
            Mahkum ‘alaihi adalah subjek hukum atau yang dikenai hukum. Yaitu orang-orang mukallaf.
            Syarat-syarat taklifi antara lain: harus sanggup dan dapat memahami khitab atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya, dan ahli dan patut ditaklifi. Yang menjadi dasar taklif adalah kemampuan (ahliyyah) manusia. Kemampuan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada’.
            Halangan ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia, dan hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia.

3.2.      Saran
            Dengan mengetahui mahkum alaih, semoga pembaca lebih memahami tentang al-ahkam asy-syar’iyah, terutama yang penulis bahas didalam makalah penulis, sehingga pembaca dapat lebih memperdalam pengetahuan pembaca. Begitu juga dengan makalah penulis yang mungkin tidak begitu lengkap dalam membahas judul makalah penulis. Kami harap pembaca dapat mencari sumber-sumber lainnya diberbagai buku atau pun referensi lainnya. Semoga makalah penulis dapat bermanfaat bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
            Azhar, USHUL FIQIH, Medan, 2015.
            Khallaf, Abdul Wahhab. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam Cet ke.6. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
            Muchtar, Kamal Dkk. Usul Fiqh. Yogyakarta:  PT. Dana Bhakti Wakaf.
            Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu USHUL FIQIH Untuk UIN, STAIN, PTAIS Cetakan IV. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
            Umam, Chaerul dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: CV. Pusaka Setia.



[1] Drs. Chaerul Umam, dkk., ........hal. 327
[2] Azhar,.....hal.126
[3] Abdul Wahab Khallaf, ...... hal. 215
[4] Kamal muchtar, Dkk, Usul Fiqh, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta
[5] Drs. Chaerul Umam, dkk, ......,hal.328
[6] Drs. Chaerul Umam, dkk., .......,hal.329
[7] Abdul Wahab Khallaf,....... ,hal 220
[8] Rachmat Syafe’i,........hal.343

Tidak ada komentar:

Posting Komentar