BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah
laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver)
adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang
disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama
bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu
membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung
dalam sebagian ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui
bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selaluberhubungan dan tidak pernah
terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat
pada diri seorang muslim. Jadi, hukum syar’i akan selalu eksis selama
muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami
masalah-masalah tentang hukum syar’i.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana yang dimaksud dengan mahkum alaih ?
1.2.2.
Bagaimana dasar taklif?
1.2.3. Bagaimana syarat-syarat taklif?
1.2.4. Bagaimana
halangan ahliyah?
1.3. Tujuan
Permasalahan
1.3.1.
Menjelaskan pengertian mengenai mahkum alaih.
1.3.2.
Menjelaskan dasar taklif.
1.3.3 Menjelaskan
syarat-syarat taklif.
1.3.4 Menjelaskan
halangan ahliyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Mahkum ‘Alaihi
Para ulama usul fiqih
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih (اَلْمَحْكُمْ عَلَيْهِ) adalah seseorang yang dikenai
khitab Allah ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf (اَلْمُكَلَّفُ). Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani
hukum. Dalam usul fiqih, istilah mukallaf disebut juga mahkum
alaih (dalam subjek). Orang mukallaf adalah orang yang telah
dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah
maupun dengan larangan-Nya. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia
mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[1]
2.2. Dasar
Taklif
Sebagai kebijaksanaan Allah
SWT, perintah dan larangan (taklif : pertanggungan jawab), selanjutnya taklifi selalu disesuaikan dengan kemampuan (ahliyyah)
manusia. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia bagaimanapun juga macamnya, tidak
dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan, karena itu, kemampuan
ini menjadi dasar adanya taklif.
Dalam
Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu
mengerjakan tindakan hukum. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani
hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang
ditujukan kepadanya. Maka orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan
anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif
(tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يُفِيْقُ. (روه ابوداود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga
orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa,
dan (3) orang gila hingga sembuh kembali.”
رُفِعَ اُمَّتِى عَنِ الْخَطَاءِ
وَالنِّسْيَانِ وَمَااسْتَكْرَهَ لَهُ .﴿ رواه ابن
ماجه والطبرانى ﴾
“Umatku
tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah dan dalam keadaa
terpaksa.”
Demikianlah orang yang
terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa
yang ditaklifkan. Jelaslah bahwa taklif
hanya diperuntukkan bagi orang yang dianggap cakap dan mampu untuk melakukan
tindakan hukum.
2.3. Syarat – Syarat Taklif
Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian, yaitu:
2.3.1. Harus sanggup dan dapat memahami khitab
syar’i atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya (baligh dan berakal).[2] Karena orang yang tidak mampu memahami taklif,
dia tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya, dan tujuannya tidak
mengarah kesana. Sedangkan kemampuan memahami dalil itu hanya nyata dalam akal,
dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang
punya akal itu dapat diterima pemahamanya oleh akal mereka. Karena akal itu
adalah alat untuk memahami dan menjangkau.[3]
Adapun
orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil
tuntutan syara dari al-Quran dan as-Sunnah, maka jalan keluarnya untuk
mengatasinya ditempuh melalui beberapa jalan, yaitu: [4]
a. Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam beberapa
bahasa, atau ke dalam bahasa mereka.
b. Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk
mempelajari bahasa arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah.
c. Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk
mempelajari bahasa asing dengan sempurna, guna menyampaikan Al-Qur’an dan As
Sunnah kepada orang asing itu.
2.3.2 Ahli dan patut ditaklifi.
Yang dimaksud dengan ahli adalah pantas atau patut ditaklifi. Yang
dimaksud mukallaf itu pantas atau patut dibebani dengan taklif. Ahli
yang dimaksud terdiri dari dua bagian antara lain:
a. Ahliyyah Wajib (اَهْلِيَةُ
الْوُجُوْب) adalah kepantasan seseorang
untuk mempunyai hak dan kewajiban. Yang dimaksud dengan: [5]
-
Hak
adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.
-
Kewajiban adalah sesuatu
yang harus diberikan kepada orang lain.
Jadi, ahliyatul-wujub itu adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang
lain dan memenuhi kewajiban dari orang lain. Dasar keputusan itu ialah
kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki, perempuan, baik janin,
bayi maupun baligh, gila ataupun waras/sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau
dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wajib.
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul
wujub mempunyai dua keadaan saja, yaitu:
1) Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang
kurang, yaitu apabila ia layak untuk memperoleh hak, akan tetapi tidak layak
untuk dibebani kewajiban, ataupun sebaliknya. Mereka
mencontohkan yang pertama dengan contoh janin didalam perut ibunya. Ia
mempunyai berbagai hak, karena ia berhak menerima warisan dan berhak atas
pemanfaatan waqaf, akan tetapi ia tidak terbebani kewajiban untuk orang
lain. Dengan demikian, ahliyyatul wujubnya adalah kurang.
2) Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna,
apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban.
Ahliyyatul wujub ini tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir, ketika
ia kanak-kanak, dalam usia menjelang balighnya (mumayyiz), dan
setelah ia baligh. Dalam keadaan apapun ia berbeda pada periode dari
perkembangan kehidupannya, ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna.
Sebagaimana telah kami kemukakan tidak ada seorang manusia pun yang tidak mempunyai ahliyyatul
wujub.
b. Ahliyyah Ada’ (اَهْلِيَةُ
الاَدَاءَ ) adalah kepantasan seorang mukallaf
yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’.[6] Ucapan dan perbuatannya
dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’
menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur daripadanya tuntutan itu.
Sebagai dasar untuk menentukan ahliyatul ada’ ialah tamyiz. Oleh
karena itu manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada’ hanyalah manusia yang mumayiz
saja.
Manusia ditinjau dari
hubungannya dengan ahliyyah ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu:
1)
Terkadang ia sama sekali
tidak mempunyai ahliyyah ada’, atau sama sekali sepi
daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila
dalam usia berapapun. Maka masing-masing anak dan orang gila itu, karena tidak
mempunyai akal, mereka tidak mempunyai keahlian melaksanakan, dan dari pada
masing-masing mereka, tidak terjadi pengaruh-pengaruh syara’ atas
ucapannya dan tidak pula atas perbuatannya. Inilah arti pendapat fuqaha
yang berbunyi :
عَمْدُ
الكِّفْلِ أَوِ الْمَجْنُوْتِ جَطَاٌ
“ Kesenjangan
anak-anak atau orang gila, adalah keliru (luput) “
Karena
selama tidak ada akal, tidak terdapat tujuan, maka tidak terdapat pula unsur
kesenjangan.[7]
2)
Ada kalanya ia adalah kurang
ahliyyah ada’-nya. Yaitu orang yang telah pintar tapi belum baligh.
Ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai
membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh, dan berkenaan pula
pada orang yang kurang waras otaknya, karena sesungguhnya orang yang kurang
waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya, bukan tidakl berakal, Ia
hanyalah lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi, hukumnya sama dengan anak
kecil yang mumayyiz.
3)
Ada kalanya ia mempunyai ahliyyah
ada’ yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh, ahliyyah
ada’ yang sempurna terwujud dengan kebalighan manusia dalam keadaan
berakal.
2.4. Halangan
Ahliyyah
Hal-hal
yang menggugurkan taklif dalam ilmu ushul fikih disebut: عَوَارِضُ
الأَهْلِيَّةِ (hal-hal yang menghilangkan keahlian), yang terbagi ke
dalam dua macam, yaitu:
2.4.1.
سَمَاوِيَّةُ عَوَرِضُ ( hal-hal yang menghalang yang
bersifat samawi)
Artinya
diluar usaha dan kehendak manusia, yaitu halangan yang datangnya dari Allah
bukan disebabkan perbuatan manusia. Seperti gila, dungu, agak kurang waras akalnya, sakit yang berlanjut kematian dan
lupa.
2.4.2.
كَسْبِيَةٌ عَوَرِضُ (hal-hal
yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia).
Maksudnya,
halangan yang disebabkan perbuatan manusia. Seperti mabuk, terpaksa, bodoh, dan
hutang.[8]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mahkum ‘alaihi adalah subjek hukum atau
yang dikenai hukum. Yaitu orang-orang mukallaf.
Syarat-syarat taklifi antara lain: harus sanggup dan
dapat memahami khitab atau
ketentuan yang dihadapkan kepadanya, dan ahli dan patut ditaklifi.
Yang menjadi dasar taklif adalah kemampuan (ahliyyah) manusia.
Kemampuan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah
ada’.
Halangan ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang
bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia, dan hal-hal yang menghalang yang
berasal dari usaha dan kehendak manusia.
3.2. Saran
Dengan mengetahui mahkum alaih, semoga pembaca
lebih memahami tentang al-ahkam asy-syar’iyah, terutama yang penulis
bahas didalam makalah penulis, sehingga pembaca dapat lebih memperdalam
pengetahuan pembaca. Begitu juga dengan makalah penulis yang mungkin tidak
begitu lengkap dalam membahas judul makalah penulis. Kami harap pembaca
dapat mencari sumber-sumber lainnya diberbagai buku atau pun referensi lainnya. Semoga
makalah penulis dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar,
USHUL FIQIH, Medan, 2015.
Khallaf, Abdul
Wahhab. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam Cet ke.6. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Muchtar,
Kamal Dkk. Usul Fiqh. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Wakaf.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu
USHUL FIQIH Untuk UIN, STAIN, PTAIS Cetakan IV. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Umam,
Chaerul dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: CV. Pusaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar