Senin, 04 April 2016

Al-Ahkam Asy-Syar’iyah: MAHKUM FIH

            Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, maupun yang terkait) dengan hukum wad’i  (seperti: sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhsoh). Untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram, atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih, berikut penjelasan mahkum fih. Melalui makalah ini kami yang dibebani tugas untuk mengkaji materi ini akan memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai mahkum fih.

1.       Pengertian Mahkum Fih
            Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itu adalah hukum, baik hukum wajib maupun hukum yang haram.[1] Dalam kajian ushul fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
هُوَ الْفِعْلُ الْمُكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقُ بِـهِ حُكْمُ الشَّارِعِ
Suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’.”[2]
            Objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya daging babi. Pada “daging babi” itu tidak berlaku hukum baik suruhan maupun larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”; yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
            Hukum syara’ terdiri atas dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i, hukum taklifi berhubungan dengan perbuatan mukallaf dan hukum wad’i itu sebagianya tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf semisal matahari tergelincir pada siang hari, itu menunjukkan bahwa sudah masuk waktu sholat dzuhur.[3]
2.       Syarat-Syarat Mahkum Fih
            Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
2.1  Perbuatan yang dibebankan diketahui secara sempurna dan rinci oleh mukallaf sehingga ia mampu melakukan secara lengkap sesuai dengan yang diperintahkan Allah kepadanya. Atas dasar ini, perintah yang masih bersifat mujmal (global) dalam al-Qur’an baru dibebankan dan diwajibkan kepada mukallaf setelah ada penjelasan secara rinci dari Nabi Saw.[4] Seperti firman Allah swt :
وَأَقِيْمُوا الصَّلاَةَ ...
“Dirikanlah shalat... (Q.S. Al-Baqarah: 43)

            Nash al-Qur’an ini bersifat global belum dijelaskan tentang rukun, syarat dan cara pelaksanaannya. Bagaimana seorang mukallaf dituntut melakukan shalat padahal ia tidak tahu cara melaksanakannya? Oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan keglobalan nash itu dengan sabda beliau :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلّ
            “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melaksanakan shalat.”[5]
 
.2.2  Mukallaf mengetahui secara pasti bahwa taklif tersebut datang dari pihak yang berwenang membuat taklif dan pihak yang diyakini, mukallaf wajib untuk diikuti hukumnya. Dalam hal ini, pihak yang berwenang memberikan taklif adalah Allah dan rasul-Nya. Dengan pengertahuan ini, mendorong mukallaf untuk mematuhi  dan mentaati perintah Allah dan rasul-Nya.
            Adapun yang dimaksud para ahli ushul fiqh dengan pengetahuan mukallaf tentang sumber taklif adalah kemungkinan mukallaf untuk mengatahuinya. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui kemampuannya memahami taklif dari al-Qur’an dan Sunnah atau ia bertanya kepada orang yang lebih tahu darinya (ulama).
2.3  Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang merupakan perbuatan yang mampu dilakukan dan ditinggalkan mukallaf. Ini disebabkan karena perintah dan larangan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah itu untuk ditaati oleh mukallaf. Sehubungan dengan syarat taklif ketiga, ada tiga permasalah penting :
a)  Tidak sah secara syara’ taklif terhadap suatu yang mustahil menurut pandangan Jumhur, seperti melihat dzatnya sendiri atau melihat selain itu  baik mustahil lizatihi yaitu sesuatu yang tidak tergambar oleh akal tentang adanya; seperti mengumpulkan dua hal yang bertentangan sekaligus.[6] Untuk itu, mustahil secara akal adanya keharusan melakukan suatu perintah dan larangan pada waktu yang sama bagi seorang mukallaf. Dan mustahil li ghairihi yaitu suatu yang tergambar dalam akal tentang adanya, tetapi secara realitas mustahil dilakukan manusia, seperti perintah untuk terbang di udara bagi mukallaf tanpa menggunakan pesawat terbang atau alat bantu.
            Menurut Jumhur Ulama, ketidaksahan taklif terhadap sesuatu yang mustahil didasarkan pada dua alasan. Pertama, banyak ayat al-Qur’an yang intinya menjelaskan bahwa Allah tidak memberikan suatu taklif kecuali sesuai dengan kemampuan manusia.   Salah satu ayat al-Qur’an adalah surat Al-Baqarah ayat 286 :
لَايُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ...
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
            Kedua, apabila sah taklif dengan suatu perbuatan yang mustahil, tentu mukallaf dituntut mewujudkan taklif tersebut. Hal ini tidak dapat diterima karena mustahil untuk melaksanakannya.
b)  Tidak sah secara syara’ memberikan taklif kepada mukallaf untuk melakukan atau menghentikan suatu perbuatan atas nama orang lain karena hal tersebut mustahil bagi dirinya. Oleh sebab itu, seorang mukallaf tidak dibebani kewajiban shalat buat orang tuanya, membayar zakat atas nama saudaranya dan menahan dirinya atas nama tetangga untuk tidak mencuri.[7]
c)  Tidak sah pembebanan dengan masalah-masalah yang bersangkutan dengan sifat-sifat yang tidak daya dan usaha manusia dalam mengadakannya.[8] Seperti sikap marah, benci, takut, gembira, kasih sayang, cinta, gairah makan dan minum. Perbuatan-perbuatan seperti ini, menurut ulama ushul fiqh, bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia. Oleh sebab itu, tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu.
            Dari syarat ketiga di atas, yaitu perbuatan taklif itu tidak ada kemungkinan dikerjakan atau ditinggalkan mukallaf, muncul persoalan lain yang dikemukakan para ulama ushul fiqh yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah? Dalam hal ini para ulama ushul fiqh membagi masyaqqah terhadap dua bentuk, yaitu masyaqqah mu’taddah (kesulitan biasa dan dapat diduga) dan masyaqqah ghair mu’taddah (kesulitan di luar kebiasaan dan sulit diduga). Yaitu:
1.    Masyaqqah mu’taddah (المشقّة المعتادة) adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudlaratan baginya. Masyaqqah seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’ dari manusia dan hal ini bisa terjadi, karena seluruh perbuatan (amalan) dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, mengerjakan shalat itu bisa melelahkan badan. Kesulitan seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh, berfungsi sebagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan seorang hamba dalam menjalankan taklif  syara’. Dengan demikian, masyaqqah separti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk melaksanakan taklif  syara’.
2.    Masyaqqah ghair mu’taddah (المشقّة غير المعتادة), adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun masyarakat, serta pada umumnya kesulitan seperti ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat. Kesulitan seperti ini pun, menurut ulama ushul fiqh, secara logika, dapat diterima sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi, karena Allah sendiri tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya untuk memberikan kesulitan bagi manusia. Misalnya, Allah tidak pernah memerintahkan hamba-Nya untuk berpuasa siang dan malam.
3.      Macam-macam Mahkum Fih
            Para ulama ushul fiqh membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
3.1    Dari segi keberadaannya secara material dan syara’
a.    Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum.
b.    Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menyebabkan adanya hukum syara’ yaitu hudud dan qishas.
c.    Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
d.   Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’, serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual-beli, dan sewa menyewa.
3.2    Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri
a.    Semata-mata hak Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa terkecuali. Hak yang sifatnya semata-mata hak Allah ini, menurut ulama ushul fiqh, ada delapan macam, yaitu :
      Ibadah mahdhah (murni), seperti iman dan rukun Islam.
      Ibadah yang mengandung makna bantuan atau santunan, seperti zakat fitrah, karenanya disyaratkan niat dalam zakat fitrah, dan kewajiban zakat itu berlaku untuk semua orang
      Bantuan atau santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari bumi
      Biaya atau santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.[9]
      Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana.
      Hukuman yang tidak sempurna, seperti seorang yang tidak diberi hak waris atau wasiat, karena ia membunuh pemilik harta tersebut
      Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah, kafarat dhihar.
      Hak-hak yang harus dibayar, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang
b.    Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak
c.    Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina)
d.   Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.[10]

 Kesimpulan
Dari pemahaman penulis, mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum yang lima, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub/sunnah, tahrim/haram, karahah/makruh, ibahah/mubah.
Syarat-syarat mahkum fih antara lain: perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya, harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya dan bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf.




[1] Prof.DR.Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2007), 317.
[2] Drs.H.Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta Timur : Rajawali Pers, 1993), 166.
[3] Prof. dr. Amir syarifuddin, ushul fiqh jilid 1 (Jakarta: logos wacana ilmu . 1997), 350
[4] Firdaus, Ushul Fiqh (Jakarta Timur : Zikrul Hakim, 2004),273.
[5] Prof,Dr.Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta : Darul Qalam, 1977), 179.
[6] Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami Wa Usulihi (damakus: darul fikri, 2005), 137
[7] Firdaus, Ushul Fiqh (Jakarta Timur : Zikrul Hakim, 2004),275-276.
[8] Drs.H.Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta Timur : Rajawali Pers, 1993), 169.
[9] Dr. H. Nasrun Haroen Ushul Fiqh I(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), 298-303.
[10] Prof.DR.Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2007),333.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar