Senin, 04 April 2016

TA’ARUD ADILLAH: TARJIH


            Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al Quran, sebelum diberlakukan terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi otensitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase perkembangannya, para generasi periwayatan (tabaqat) dapat dipastikan memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa suatu hadits benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.
            Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istinbath hukumnya maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan (semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada hakekatnya dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan hadits) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan diantaranya. Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah SWT. Untuk pembahasan kali ini agar tidak melebar, maka penulis hanya akan memfokuskan pada bagaimana hakikat dari metode tarjih dan bagaimana metode tarjih itu diberlakukan?

1.       Pengertian Tarjih
            Secara bahasa, tarjih ( ترجح ) berasal dari kata “rojjaha yurajjihu tarjihan”, yang berarti menguatkan atau mengambil sesuatu yang lebih kuat. Tarjih, secara difinisi adalah  menguatkan salah satu dari dua dalil dzhanny supaya bisa beramal dengan yang sudah dikuatkan.[1]
            Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq (mengamalkan dua dalil yang kontradiksi). Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.[2]
            Sedangkan secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:
a.       Menurut Ulama Hanafiyah :
اِظْهَارُ زِيَادَةٍ لِأَحَدِ الْمُتَمَا ثِلَيْنِ عَلَى الْأَخَرِ بِمَا لَايَسْتَقِلُّ
 Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
            Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukungnya.[3]
b.       Menurut Jumhur Ulama:
تَقْوِ يَةُ إِحْدَى اْلإِمَارَتَيْنِ عَلَى الْأُخْرٰى لِيَعْمَلَ بِهَا
 Meniatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”
 
            Dengan pengertian tersebut, jumhur membatasi tarjih dalam dalil yang bersifat zhanni saja, karena masalah ini tidak termasuk dalam persoalan-persoalan yang qath’i (pasti) dan tidak juga antara zhanni dengan yang qath’i. Jumhur Ulama ushul sepakat bahwasanya apabila sudah terjadi pentarjihan dalil, maka dalil yang rajih atau yang dikuatkan wajib diamalkan. Alasannya karena, kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya dalam berbagai kasus.[4]
            Para ulama usul fiqh sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan. Alasan yang diajukan adalah kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para sahabat Rasulullah dalam menguatkan suatu dalil dari dalil-dalil lainnya dalam berbagai persoalan (kasus).
            Misalnya, dalam kasus perbuatan yang mewajibkan mandi; para sahabat menguatkan hadits yang bersumber dari `Aisyah ra tentang iltiqa` al-khitanaini (bertemunya alat vital laki-laki dan alat vital perempuan)[5] hadits riwayat Muslim dan al-Tirmidzi dari pada hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa:
عن ابى هريرة رضي اللهعنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : انما الماء من الماء.  (رواه مسلم)
"Dari Abu Hurairah ra ia berkata : bahwa Nabi SAW bersabda: air itu berasal dari air". (HR. Muslim)

            Maksud hadits ini bahwa, apabila keluar mani, baru mandi wajib. Namun bila tidak keluar mani sekalipun telah bertemu dua alat vital tetap tidak diwajibkan mandi. Inti pemahaman hadits ini adalah keluar mani bukan bertemu dua alat vital.
            Para sahabat juga menguatkan hadits tentang seseorang berpuasa dalam keadaan berjunub (H.R. al-Bukhari dan Muslim, dari `Aisyah dan Ummi Salamah) dari pada hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa siapa yang berpuasa dalam keadaan junub pagi hari, maka puasanya tidak sah (H.R.Ibnu Hibban).
            Oleh karena itu, para ulama usul fiqh berpendapat bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang rajih itu wajib diamalkan.
            Tarjih dapat diartikan ialah menguatkan salah satu dalil dari dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut.[6]
2.      Syarat – Syarat Tarjih
Sebelum melakukan tarjih perlu diketahui syarat-syaratnya :
a.    Yang menjadi soal itu satu masalah tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji, maka semua riwayatnya urusan haji.
b.    Dalil-dalil yang berlawanan harus sama kekuatanya, seperti al-Quran dengan al-Quran, dan hadis  mutawatir dengan hadis-hadis mutawatir pula.
c.    Harus ada persesuaian hukum antara keduanya baik waktunya, tempatnya, dan keadaannya. Misalnya larangan jual beli sesudah ada azan Jumat, di waktu yang lain jual beli dibolehkan.
3.    Cara Pen-tarjih-an
            Cara-cara mentarjih dapat dibagi menjadi dibagi menjadi dua, yaitu: (1) at-Tarjih baina an-Nushush, yaitu menguatkan salah satu nash (ayat al-qur’an atau hadist) yang saling bertentangan dan (2) at-Tajih  baina al-Qiyas, yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi yang bertentangan).
3.1    Tarjih bain an-Nushush
3.1.1.  Tarjih ditinjau dari segi sanad
a.    Hendaklah dipilih sanadnya yang banyak rawinya dari pada yang sedikit.
b.   Hendaklah dipilih rawi-rawinya yang ahli fiqih dari pada yang bukan karena mereka lebih mengetahui maksud yang diriwayatkan.
c.    Hendaklah dipilih yang rawi-rawinya lebih banyak hapalannya dari pada yang lainnya.
d.   Hendaklah dipilih rawinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakannya karena biasanya ia lebih mengetahuinya.
e.    Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan, dan
f.    Hendaklah dipilih rawi-rawi yang banyak bergaul dengan Nabi Saw.
3.1.2  Tarjih ditinjau dari segi matan[7]
a.  Teks yang  mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak segala kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
b.  Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang menunjukan kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukum  bolehnya telah terbawa sekaligus.
c.  Makna hakikat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya, karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi lain untuk menguatkannya.
d.   Dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum.
e.  Teks umum yang belum dikhususkan (di-takhsis) lebih didahulukan daripada teks umum yang telah dikhususkan (takhsis).
f.     Teks yang sifatnya perkataan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
g.   Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang yang mufassar, karena teks yang muhkam lebih pasti dibanding teks mufassar.
h.    Teks yang syarih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran (kinayah).

3.1.3.  Tarjih ditinjau dari segi isi / kandungan
a.    Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
b.   Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya (al-mutsbit ‘alan nafi).
c. Mendahulukan yang mengandung pembatalan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
d.   Mendahulukan yang hukumannya ringan dari pada yang berat, dan
e.    Mendahulukan yang menetapkan hukum ashal atau Bara’ah ashliyah.
3.1.4   Tarjih ditinjau dari segi-segi yang diluar Nash
a.    Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil-dalil lain.
b.    Didahulukan hadis qauliyah dari pada fi’liyah, dan
c.    Didahulukan hadits (riwayat) yang lebih menyerupai dhahir al-Qur’an.
3.2    Tarjih bain al-Aqyisah[8]
3.2.1   Dari Segi Hukum Ashl
a.    Menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari yang zhanni.
b.    Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa di-taksis, di-takwil dan di-nasakh, sedangkan ijma tidak. Tetapi, ada kemungkinan bahwa qiyas yang didasarkan pada qiyas lebih kuat dari ijma, karena ijma sendiri harus dilandasi nash. Dengan demikian, ijma bisa dianggap sebagai cabang dari nash yang tidak bisa didahulukan oleh asalnya.
c.    Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
d.   Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
e.    Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan di-nasakh.
f.     Menguatkan qiyas yang yang hukum asalnya bersifat khusus.
3.2.2   Dari Segi Hukum Cabang
a.    Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya.
b.    Menguatkan hukum cabang yang illat-nya diketahui secara qath’i dari yang diketahui secara zhanni.
c.    Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika secara tafshil (rinci).
3.2.3   Dari Segi Illat
3.2.3.1   Dari Segi Cara Penetapan Illat
a.    Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
b.    Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (penguji, analisis, dan pemilahan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian), karena isyarat nash lebih baik daripada dugaan seseorang mujtahid.
3.2.3.2   Dari Sifat Illat
a.    Menguatkan `illat yang bisa diukur dengan `illat yang bersifat relatif dan tidak bisa diukur.
b.  Menguatkan `illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada kasus lain dari `illat yang sifatnya terbatas pada suatu kasus saja.
c.   Menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan pokok (dharuriyyah) dari `illat yang hanya berkaitan dengan kemaslahatan penunjang (hajiyyah). Demikian pula menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan hajiyyah dari `illat yang terkait dengan kemaslahatan pelengkap (tahsiniyyah).
d. Menguatkan `illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, dari `illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.

3.2.4   Dari Segi Faktor Luar
a.    Menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah `illat dari qiyas yang hanya didukung oleh satu `illat.
b. Menguatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat (bagi yang menjadikan fatwa sahabat sebagai salah satu dalil syara`) dari qiyas yang tidak demikian.
c.    Menguatkan qiyas yang `illat berlaku pada seluruh furu` dari`illat yang hanya berlaku pada sebagian furu` saja.
d.   Menguatkan qiyas yang `illatnya didukung oleh sejumlah dalil dari qiyas yang hanya `illatnya hanya didukung oleh satu dalil saja.

Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa perlu sekali adanya tarjih didalam hadits maupun hukum-hukum islam. Karena hal tersebut berkaitan dengan kemaslahatn umat islam.
            Secara bahasa, tarjih ترجح berarti mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. Jumhur Ulama mendefinisikan Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
            Para ulama’ Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan nasakh.
            Cara pentarjihan dapat dikelmpokkan dalam dua kelompok besar yaitu:  
1. الترجح بين النصوص  yaitu menguatkan salah satu nash (ayat ataupun hadits) yang saling bertentangan, 
2. الترجح بين الأقيسة   yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang saling bertentangan.

      
       

[1] Syarhul Isnawy, Juz II Hal. 189
[2] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hal, 195
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,....hal.242
[4] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamy Jilid 2, (Dimashqa: Darul Riqr, 1996), hal.196
[5] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamy Jilid 2, (Dimashqa: Darul Riqr, 1996), hal.197
[6] Azhar, Ushul Fiqih,.....hal.149
[7] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,....hal.245
[8] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,....hal.247-249

Tidak ada komentar:

Posting Komentar