Hadits
sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al Quran, sebelum diberlakukan
terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi
otensitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase
perkembangannya, para generasi periwayatan (tabaqat)
dapat dipastikan memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada
keputusan bahwa suatu hadits benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat
dijadikan dasar dan rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.
Bagi seseorang yang hendak mengkaji
dalil-dalil syara’ dan metode istinbath hukumnya maka wajib
baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek pembahasan
serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya,
memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan
(semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang
lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara
menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui
metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada
hakekatnya dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan hadits) tersebut selaras
dan tidak ada pertentangan diantaranya. Karena dalil-dalil tersebut datangnya
dari Allah SWT. Untuk pembahasan kali ini agar tidak melebar, maka penulis
hanya akan memfokuskan pada bagaimana hakikat dari metode tarjih dan bagaimana
metode tarjih itu diberlakukan?
1. Pengertian Tarjih
Secara bahasa, tarjih
( ترجح ) berasal dari kata “rojjaha –
yurajjihu – tarjihan”, yang berarti menguatkan atau mengambil
sesuatu yang lebih kuat. Tarjih, secara difinisi adalah menguatkan salah satu dari dua dalil dzhanny
supaya bisa beramal dengan yang sudah dikuatkan.[1]
Konsep
ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan
dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u
wa al-taufiq (mengamalkan dua dalil yang kontradiksi). Dalil yang dikuatkan
disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.[2]
Sedangkan secara terminologi, ada dua definisi yang
dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:
a.
Menurut Ulama Hanafiyah :
اِظْهَارُ
زِيَادَةٍ لِأَحَدِ الْمُتَمَا ثِلَيْنِ عَلَى الْأَخَرِ بِمَا لَايَسْتَقِلُّ
“Memunculkan adanya tambahan bobot pada
salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak
berdiri sendiri.”
Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus
sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil
tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang
didukungnya.[3]
b.
Menurut Jumhur Ulama:
تَقْوِ يَةُ إِحْدَى اْلإِمَارَتَيْنِ عَلَى
الْأُخْرٰى لِيَعْمَلَ بِهَا
“Meniatkan salah satu dalil yang zhanni
dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”
Dengan pengertian tersebut, jumhur membatasi tarjih dalam dalil yang bersifat zhanni
saja, karena masalah ini tidak termasuk dalam persoalan-persoalan yang qath’i
(pasti) dan tidak juga antara zhanni dengan yang qath’i. Jumhur
Ulama ushul sepakat bahwasanya apabila sudah terjadi pentarjihan dalil,
maka dalil yang rajih atau yang dikuatkan wajib diamalkan. Alasannya
karena, kesepakatan dan amalan
yang telah ditempuh para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari dalil
lainnya dalam berbagai kasus.[4]
Para ulama usul fiqh sepakat bahwa dalil yang rajih
(dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan)
tidak perlu diamalkan. Alasan yang diajukan adalah kesepakatan dan amalan yang
telah ditempuh para sahabat Rasulullah dalam menguatkan suatu dalil dari
dalil-dalil lainnya dalam berbagai persoalan (kasus).
Misalnya,
dalam kasus perbuatan yang mewajibkan mandi; para sahabat menguatkan hadits
yang bersumber dari `Aisyah ra tentang iltiqa` al-khitanaini (bertemunya
alat vital laki-laki dan alat vital perempuan)[5] hadits riwayat Muslim dan al-Tirmidzi dari pada hadits
Abu Hurairah yang mengatakan bahwa:
عن ابى هريرة رضي اللهعنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
انما الماء من الماء. (رواه مسلم)
"Dari Abu Hurairah ra ia berkata :
bahwa Nabi SAW bersabda: air itu berasal dari air". (HR. Muslim)
Maksud
hadits ini bahwa, apabila keluar
mani, baru mandi wajib. Namun bila tidak keluar mani sekalipun telah bertemu
dua alat vital tetap tidak diwajibkan mandi. Inti pemahaman hadits ini adalah keluar mani
bukan bertemu dua alat vital.
Para sahabat juga menguatkan hadits
tentang seseorang berpuasa dalam keadaan berjunub (H.R. al-Bukhari dan
Muslim, dari `Aisyah dan Ummi Salamah) dari pada hadits Abu Hurairah yang
mengatakan bahwa siapa yang berpuasa dalam keadaan junub pagi hari, maka
puasanya tidak sah (H.R.Ibnu Hibban).
Oleh
karena itu, para ulama usul fiqh berpendapat bahwa apabila seorang mujtahid
telah melakukan tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan,
maka dalil yang rajih itu wajib diamalkan.
Tarjih dapat diartikan ialah menguatkan salah
satu dalil dari dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang
mendukung ketetapan tersebut.[6]
2. Syarat –
Syarat Tarjih
Sebelum melakukan tarjih perlu diketahui
syarat-syaratnya :
a. Yang menjadi soal itu
satu masalah tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji, maka semua riwayatnya
urusan haji.
b. Dalil-dalil yang
berlawanan harus sama kekuatanya, seperti al-Quran dengan al-Quran, dan
hadis mutawatir dengan hadis-hadis
mutawatir pula.
c. Harus ada persesuaian
hukum antara keduanya baik waktunya, tempatnya, dan keadaannya. Misalnya
larangan jual beli sesudah ada azan Jumat, di waktu yang lain jual beli
dibolehkan.
3. Cara Pen-tarjih-an
Cara-cara
mentarjih dapat dibagi menjadi dibagi menjadi dua, yaitu: (1) at-Tarjih
baina an-Nushush, yaitu menguatkan salah satu nash
(ayat al-qur’an atau hadist) yang saling bertentangan dan (2) at-Tajih baina al-Qiyas, yaitu menguatkan
salah satu qiyas (analogi yang bertentangan).
3.1 Tarjih
bain an-Nushush
3.1.1. Tarjih
ditinjau dari segi sanad
a. Hendaklah dipilih
sanadnya yang banyak rawinya dari pada yang sedikit.
b. Hendaklah dipilih
rawi-rawinya yang ahli fiqih dari pada yang bukan karena mereka lebih
mengetahui maksud yang diriwayatkan.
c. Hendaklah dipilih yang
rawi-rawinya lebih banyak hapalannya dari pada yang lainnya.
d. Hendaklah dipilih rawinya
yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakannya karena biasanya ia
lebih mengetahuinya.
e. Hendaklah dipilih hadis
atau riwayat yang diceritakan, dan
f. Hendaklah dipilih rawi-rawi
yang banyak bergaul dengan Nabi Saw.
3.1.2 Tarjih ditinjau dari segi matan[7]
a. Teks yang
mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah,
karena menolak segala kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
b. Teks yang mengandung
perintah didahulukan daripada teks yang menunjukan kebolehan saja, karena
dengan melaksanakan perintah, hukum bolehnya telah terbawa sekaligus.
c. Makna hakikat dari suatu
lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya, karena makna hakikat tersebut
tidak memerlukan indikasi lain untuk menguatkannya.
d. Dalil khusus lebih
didahulukan daripada dalil umum.
e. Teks umum yang belum
dikhususkan (di-takhsis) lebih didahulukan daripada teks umum yang telah
dikhususkan (takhsis).
f. Teks yang sifatnya
perkataan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
g. Teks yang muhkam lebih
didahulukan daripada teks yang yang mufassar, karena teks yang muhkam
lebih pasti dibanding teks mufassar.
h. Teks yang syarih (jelas)
didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran (kinayah).
3.1.3. Tarjih ditinjau dari segi isi / kandungan
a. Mendahulukan isi yang
mendekati ihtiath (berhati-hati).
b. Mendahulukan yang
menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya (al-mutsbit ‘alan nafi).
c. Mendahulukan yang
mengandung pembatalan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
d. Mendahulukan yang
hukumannya ringan dari pada yang berat, dan
e. Mendahulukan yang
menetapkan hukum ashal atau Bara’ah ashliyah.
3.1.4 Tarjih ditinjau dari segi-segi yang diluar Nash
a. Didahulukan hadis yang
dibantu oleh dalil-dalil lain.
b. Didahulukan hadis qauliyah
dari pada fi’liyah, dan
c. Didahulukan hadits
(riwayat) yang lebih menyerupai dhahir al-Qur’an.
3.2 Tarjih
bain al-Aqyisah[8]
3.2.1 Dari Segi Hukum Ashl
a. Menguatkan qiyas
yang hukum asalnya qath’i dari yang zhanni.
b. Menguatkan qiyas
yang landasan dalilnya ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash,
sebab nash itu bisa di-taksis, di-takwil dan di-nasakh,
sedangkan ijma tidak. Tetapi, ada kemungkinan bahwa qiyas yang
didasarkan pada qiyas lebih kuat dari ijma, karena ijma
sendiri harus dilandasi nash. Dengan demikian, ijma bisa dianggap
sebagai cabang dari nash yang tidak bisa didahulukan oleh asalnya.
c. Menguatkan qiyas
yang didukung dalil yang khusus.
d. Menguatkan qiyas
yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
e. Menguatkan qiyas
yang telah disepakati para ulama tidak akan di-nasakh.
f. Menguatkan qiyas
yang yang hukum asalnya bersifat khusus.
3.2.2 Dari Segi
Hukum Cabang
a. Menguatkan hukum cabang
yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya.
b. Menguatkan hukum cabang
yang illat-nya diketahui secara qath’i dari yang diketahui secara
zhanni.
c. Menguatkan hukum cabang
yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang
hanya didasarkan kepada logika secara tafshil (rinci).
3.2.3 Dari Segi Illat
3.2.3.1 Dari Segi Cara Penetapan Illat
a. Menguatkan illat
yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak
demikian.
b. Menguatkan illat
yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (penguji, analisis, dan
pemilahan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang
hanya menggunakan metode munasabah (keserasian), karena isyarat nash
lebih baik daripada dugaan seseorang mujtahid.
3.2.3.2 Dari
Sifat Illat
a. Menguatkan `illat yang bisa diukur dengan `illat yang
bersifat relatif dan tidak bisa diukur.
b. Menguatkan `illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada kasus
lain dari `illat yang sifatnya terbatas pada suatu kasus saja.
c. Menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan pokok (dharuriyyah)
dari `illat yang hanya berkaitan dengan kemaslahatan penunjang (hajiyyah).
Demikian pula menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan hajiyyah
dari `illat yang terkait dengan kemaslahatan pelengkap (tahsiniyyah).
d. Menguatkan `illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, dari `illat yang bersifat indikator saja
terhadap latar belakang hukum.
3.2.4 Dari Segi Faktor Luar
a. Menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah `illat
dari qiyas yang hanya didukung oleh satu `illat.
b. Menguatkan qiyas yang didukung oleh fatwa
sahabat (bagi yang menjadikan fatwa sahabat sebagai salah satu dalil syara`)
dari qiyas yang tidak demikian.
c. Menguatkan qiyas yang `illat berlaku
pada seluruh furu` dari`illat yang hanya berlaku pada sebagian furu`
saja.
d. Menguatkan qiyas yang `illatnya
didukung oleh sejumlah dalil dari qiyas yang hanya `illatnya
hanya didukung oleh satu dalil saja.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita dapat
mengambil kesimpulan, bahwa perlu sekali adanya tarjih didalam hadits
maupun hukum-hukum islam. Karena hal tersebut berkaitan dengan kemaslahatn umat
islam.
Secara
bahasa, tarjih ترجح berarti
mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir
antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa
diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. Jumhur
Ulama mendefinisikan Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni atas
yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
Para ulama’ Ushul fiqh mengemukakan
cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila antara dua dalil,
secara zhahir terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan nasakh.
Cara pentarjihan dapat dikelmpokkan
dalam dua kelompok besar yaitu:
1. الترجح بين النصوص yaitu menguatkan salah satu nash (ayat
ataupun hadits) yang saling bertentangan,
2. الترجح بين الأقيسة yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi)
yang saling bertentangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar