Sabtu, 02 April 2016

Sumber Hukum Islam: QIYAS



1.        Pengertian Qiyas
       Secara bahasa, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qasa-yaqusu yang berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Yaitu mengukur, menyamakan atau membandingkan sesuatu dengan sejenisnya. Sedangkan pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan pada ulama ushul fiqih, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandung pengertian yang sama. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut ini.
       Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat Syari’ sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid ataupun tidak.[1]
a.      Sadr asy Syariah, tokoh ushul fiqih Hanafiyah mengemukakan bahwa qiyas adalah “Memberlakukan hukum asal kepada hukum furuk, disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja. Maksudnya, ‘illat yang ada pada satu nas sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan ‘illat ini maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nas tersebut.”
b.        Al-Human menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
c.        Imam Baidawi dan mayoritas ulama Syafi’iyah mendefinisikan qiyas dengan “Membawa (hukum) yang belum diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik secara hukum maupun sifat.”
d.        Wahbah az Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nas, disebabkan kesatuan ‘illat antara keduanya.”

       Meskipun terjadi perbedaan definisi terminologi antara ulama klasik dan kontemporer tentang qiyas, namun mereka sepakat bahwa qiyas adalah: Menyingkapkan dan menampakkan hukum, bukan menetapkan hukum ataupun menciptakan hukum. Karena pada dasarnya al-maqis atau sesuatu yang dikiaskan sudah mempunyai hukum yang tetap, hanya saja terlambat penyingkapannya sampai mujtahid menemukannya dengan perantara adanya persamaan ‘illat.[2]
       Jadi, secara umum qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam ‘illat-nya.

2.        Operasional Qiyas
       Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa dan tidak cukup hanya dengan pemahaman makna lafazh saja. Selanjutnya, mujtahid mencari dan meneliti ada tidaknya ‘illat tersebut pada kasus yang tidak ada nash-nya. Apabila ternyata ada‘illat itu, faqih menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan‘illat. Dengan demikian, yang dicari mujtahid disini adalah‘illat hukum yang terdapat pada nash (hukum pokok).
       Selanjutnya, jika ‘illat tersebut ternyata betul-betul terdapat pada kasus-kasus lain, yang tampak bagi mujtahid adalah bahwa ketentuan hukum pada kasus-kasus itu adalah satu, yaitu ketentuan hukum yang terdapat pada nash (maskhshus alaih) menjalar pada kasus-kasus lain yang tidak ada nash-nya.

3.        Rukun Qiyas
a.       Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nasnya, yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih (yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul alaih (tempat membandingkan) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).
 
     b.      Far’un (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nasnya, dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).

     c.       Illat adalah suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashl. Oleh karena adanya sifat itu maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan terdapat juga pada cabang maka disamakan hukum cabang itu dengan hukum ashl.

     d.      Hukum Ashl, yaitu hukum syarak yang ditetapkan oleh suatu nas dan dikehendaki untuk menetapkan hukum hukum itu kepada cabangnya.

4.        Macam – Macam Qiyas
a.    Qiyas Aulawi (lebih-lebih), yaitu qiyas yang ‘illat hukum pada far’un lebih kuat daripada illat hukum asal. Jika ‘illat yang ada pada asal lebih pantas untuk diterapkan pada far’un. Seperti haramnya memukul ibu-bapak yang di-qiyas-kan dengan haramnya memaki-maki mereka. 

... فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفًّ وَّلَا تَنْهَرْ هٌمَا ...
     “...Maka sekali-sekali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka...” (Q.S. Al-Isra’/17:23)

          Dilihat dari segi ‘illat -nya, yaitu menyakiti, maka memukul itu lebih menyakitkan daripada memaki-maki (dalam istilah mafhum ini disebut fahwal-khithab).

b.    Qiyas Adna, yaitu qiyas yang‘illat hukum pada far’un lebih lemah daripada ‘illat hukum pada asal. Misalnya, sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras khamar yang diharamkan. 

يٰٓاَيُّهَاالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَاالْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ ...
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan...”(Q.S. Al-Maidah/5:90)

     Meskipun pada ashal dan cabang terdapat sama-sama terdapat sifat memabukkan sehingga dapat diberlakukan qiyas.
c.    Qiyas Musawi (kesamaan tingkat ‘illat-nya), yaitu qiyas yang illat hukum pada far’un dan asal sama kualitasnya. Jika‘illat yang ada pada far’un setingkat kesamaannya dengan yang ada pada asal. Misalnya, meng-qiyas-kan keharaman membakar harta benda milik anak yatim dengan keharaman memakannya.
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْ كُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًااِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا .
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka).”  (Q.S. An-Nisa’/3:10)
     Dilihat dari segi ‘illat-nya antara membakar dan memakan adalah setingkat, yaitu sama-sama melenyapkan (dalam istilah mafhum disebut lahnal-khithab)
d.   Qiyas Dilalah (menunjukkan), yaitu jika‘illat yang ada pada far’un menunjukkan adanya hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti meng-qiyas-kan kewajiban mengeluarkan zakat harta kekayaan anak-anak yatim dengan kewajiban mengeluarkan zakat harta orang dewasa, alasan kedua-duanya adalah sebagai harta benda yang mempunyai sifat dapat berkembang.
e.    Qiyas Syibhi (menyerupakan), yaitu meng-qiyas-kan cabang (far’un) yang dimungkinkan di antara kedua ‘illat yang ada pada asal (pangkal) dengan menggunakan ‘illat yang paling banyak persamannya. Misalnya, seorang budak yang dibunuh, dapat di-qiyas-kan dengan orang merdeka karena keduanya sama-sama manusia, sebagai anak keturunan Adam. Tetapi dapat juga di-qiyas-kan dengan harta benda, karena mereka dapat dimiliki, dijual dan diwakafkan. Dengan qiyas terakhir ini, hamba sahaya yang mati dibunuh, pembunuhnya dapat menggantinya dengan nilainya (harganya).
5.        Kedudukan Qiyas sebagai Dasar Hukum
       Mayoritas ulama ushul fikih menempatkan posisi qiyas sebagai salah satu dari dasar hukum Islam yang menempati urutan  keempat setelah Al-Qur’an, Hadis dan ijmak. Dalilnya berdasarkan Al-Qur’an, Hadis dan ijmak sahabat sebagai berikut.
1)   Ayat-ayat Al-Qur’an, misalnya firman Allah swt.:
...  فَاعْتَبِرُوْا يٰآُو لِى الْاَبْصَارِ
     “... Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Q.S.Al-Hasyr/59:2)

            Para ulama usulfikih menafsirkan kata i’tibar berarti menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain ( قِيَاسُ شَيْئٍ بِالشَّيْئِ). Maka, mengambil pelajaran dari suatu peristiwa termasuk qiyas. Semua ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung suatu  hukum karena adanya kesamaan ‘illat dapat dijadikan alasan untuk menggunakan qiyas dan tentang wanita yang sedang menstruasi. Menurut mayoritas ulama ‘illat yang menyebabkan munculnya hukum itulah makna dari qiyas.

2)   Hadis Nabi saw. yang telah populer, yaitu hadis yang menjelaskan dialog Nabi saw. dengan Mu’az bin Jabal ketika hendak diutus menjadi pejabat pemerintahan di wilayah Yaman. Nabi saw. menyetujui rencana Mu’az bin Jabal untuk mengambil keputusan dengan menggunakan ar-ra’yu (pemikiran), jika tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Menggunakan kemampuan berpikir melalui qiyas adalah bagian dari cara menggunakan ar-ra’ya.

3)   Ijmak para sahabat. Para sahabat Nabi saw. lelah mempraktikkan penggunaan qiyas. Misalnya, ketika Khalifah Umar bin Khattab, menunjuk Abu Musa al-Asy’ari menjadi hakim di Basrah, Irak. Beliau mengirimkan surat kepada Abu Musa yang isinya antara lain menekankan agar menggunakan qiyas dalam memutuskan persoalan yang tidak ditentukan dalam nas.

4)   Akal (logika), bahwa hukum Allah itu untuk kemaslahatan manusia. Karena itu, jika ada kemaslahatan yang belum terdapat dalam nas, tetapi mempunyai kesamaan ‘illat dengan hukum yang sudah ada dalam nas, cara yang paling tepat adalah men-qiyas-kannya.

6.        Kehujjahan Qiyas dan Pendapat Para Ulama
       Telah terjadi perbedaan pendapat dalam berhujjah dengan qiyas, ada yang membolehkannya dan melarangnya, diantara contohnya adalah kifarat bagi yang berbuka puasa dengan sengaja di bulan Ramadhan.
       Bagi mereka yang sengaja berbuka pada bulan Ramadhan, apakah diwajibkan kifarat sebagaimana diwajibkan kifarat sebagaimana diwajibkan kifarat bagi yang sengaja berbuka puasa dengan jima’?
       Menurut pendapat Malik, Abu Hanifah dan para penganut keduanya, Tsauri serta sebagian jema’ah, bahwa perbuatan tersebut wajib diganti dengan qadha dan kifarat, berdasarkan hadis Rasulullah SAW.

جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَارَسُوِلَ اللهِ , قَالَ: وَمَااَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِى فِى رَمَضَانَ قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَاتَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لَا, قَالَ: هَلْ تَسْتَطِيْعُ اَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا, قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَاتُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ فَأَتَى النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمَرٌ قَالَ: خُذْ تَصَدَّقْ بِهٰذَا . قَالَ: فَهَلْ عَلَى اَفْقَرَمِنَّا؟ فَوَاللهِ مَابَيْنَ لَا بَتَيْهَا اَهْلَ بَيْتٍ اَحْوَجُ اِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَليَهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ اَنْيَابُهُ وَقَالَ: اِذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ اَهْلَكَ . ﴿رواه البخارى و مسلم
“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. ia berkata, “Celakalah aku, ya Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Celaka kenapa?” “Aku telah bersetubuh dengan istriku pada bulan Ramadhan”. Rasulullah bersabda, “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekaan abid?” ia menjawab, “tidak.” Nabi bertanya lagi, “Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawan, “tidak.” Nabi bersabda lagi, “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk disedekahkan kepada orang miskin?” Dia menjawab, “tidak.” Kemudian ia duduk, lalu Nabi memberikan kepadanya karung yang didalamnya terdapat kurma, “Bersedekahlah kamu dengan ini!”. Dia bertanya, “Apakah aku harus menyedekahkan kepada orang yang lebih miskin dariku, padahal tidak satu keluargapun dikampungku yang lebih membutuhkan dari keluargaku.” Nabi tertawa dan berkata, “Pergilah dan berilah keluargamu dengan makanan tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

       Mereka berhujjah dengan meng-qiyas-kan makan dan minum dengan jima’. Adapun illat-nya menurut mereka adalah merusak kesucian bulan Ramadhan.
       Adapun golongan Zahir tidak mewajibkan kifarat kepada orang yang puasanya batal disebabkan makan dan minum dengan sengaja. Mereka berpendapat bahwa hadis tersebut menerangkan tentang jima’ pada bulan Ramadhan, bukan menerangkan setiap yang membatalkan puasa.
       Golongan Syafi’i dan Hambali sependapat dengan pendapat Zahir di atas, yakni tidak adanya kifarat. Hal ini tidak berarti mereka itu tidak menggunakan qiyas, tetapi berpandangan bahwa illat seperti itu tidak cocok. Menurut pendapat mereka, hadis tersebut hanya cocok untuk ijma’, tidak untuk selainnya.

Kesimpulan
            Qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam ‘illat-nya. Rukun qiyas yaitu adanya ashal (pokok/pangkal), far’un (cabang), ‘illat (sebab), dan hukum asal. Sedangkan, macam-macam qiyas yaitu qiyas aulawi (lebih-lebih), qiyas musawi (kesamaan tingkat ‘illatnya), qiyas dilalah (menunjukkan), dan qiyas syibhi. Adapun kedudukan qiyas sebagai dasar hukum yaitu menepati urutan keempat setelah Al-Qur’an, Hadis dan ijma’ berdasarkan dalilnya pada Q.S.Al-Hasyr:2. Terdapat pula kehujjahan qiyas oleh para ulama dalam membolehkan atau melarang qiyas, seperti perbedan pendapat dalam metode pengambilan hukumnya ataupun perbedaan tetang ‘illat dan pengaruhnya.


[1] Abdul Hakim, 1986: 22-24
[2] Sofwan Iskandar,Een Kurniasih,2008,hal35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar