1.
Pengertian Qiyas
Secara
bahasa, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qasa-yaqusu yang
berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Yaitu mengukur, menyamakan atau
membandingkan sesuatu dengan sejenisnya. Sedangkan pengertian qiyas secara
terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan pada ulama ushul fiqih,
sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandung pengertian yang sama. Dalam hal
ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut ini.
Golongan
pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni
pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas
merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri
sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat Syari’ sebagai
alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh
para mujtahid ataupun tidak.[1]
a. Sadr asy Syariah, tokoh ushul fiqih Hanafiyah mengemukakan bahwa qiyas
adalah “Memberlakukan hukum asal kepada hukum furuk, disebabkan kesatuan ‘illat
yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja. Maksudnya, ‘illat
yang ada pada satu nas sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang
sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan ‘illat ini maka hukum
kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nas
tersebut.”
b.
Al-Human menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus
dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘illat hukumnya yang tidak dapat
diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
c. Imam Baidawi dan mayoritas ulama Syafi’iyah mendefinisikan qiyas
dengan “Membawa (hukum) yang belum diketahui kepada (hukum) yang diketahui
dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi
keduanya, baik secara hukum maupun sifat.”
d.
Wahbah az Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan “Menyatukan sesuatu
yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas dengan sesuatu yang disebutkan
hukumnya oleh nas, disebabkan kesatuan ‘illat antara keduanya.”
Meskipun terjadi perbedaan
definisi terminologi antara ulama klasik dan kontemporer tentang qiyas,
namun mereka sepakat bahwa qiyas adalah: Menyingkapkan dan menampakkan
hukum, bukan menetapkan hukum ataupun menciptakan hukum. Karena pada dasarnya al-maqis
atau sesuatu yang dikiaskan sudah mempunyai hukum yang tetap, hanya saja
terlambat penyingkapannya sampai mujtahid menemukannya dengan perantara adanya
persamaan ‘illat.[2]
Jadi,
secara umum qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu
kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang
disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam ‘illat-nya.
2.
Operasional Qiyas
Operasional penggunaan qiyas dimulai
dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiliki nash.
Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa dan tidak cukup hanya dengan
pemahaman makna lafazh saja. Selanjutnya, mujtahid mencari dan meneliti
ada tidaknya ‘illat tersebut pada kasus yang tidak ada nash-nya.
Apabila ternyata ada‘illat itu, faqih menggunakan ketentuan hukum
pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan‘illat. Dengan demikian, yang
dicari mujtahid disini adalah‘illat hukum yang terdapat pada nash
(hukum pokok).
Selanjutnya, jika ‘illat
tersebut ternyata betul-betul terdapat pada kasus-kasus lain, yang tampak bagi mujtahid
adalah bahwa ketentuan hukum pada kasus-kasus itu adalah satu, yaitu ketentuan
hukum yang terdapat pada nash (maskhshus alaih) menjalar pada
kasus-kasus lain yang tidak ada nash-nya.
3.
Rukun Qiyas
a. Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nasnya,
yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl
menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash
syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang
menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih (yang
dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul alaih (tempat
membandingkan) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).
b.
Far’un (cabang),
yaitu peristiwa yang tidak ada nasnya, dan peristiwa itulah yang dikehendaki
untuk disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia disebut juga maqis (yang
dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).
c.
Illat adalah suatu
sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashl. Oleh karena adanya sifat
itu maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan terdapat juga
pada cabang maka disamakan hukum cabang itu dengan hukum ashl.
d.
Hukum Ashl, yaitu hukum syarak yang ditetapkan oleh suatu nas dan
dikehendaki untuk menetapkan hukum hukum itu kepada cabangnya.
4.
Macam – Macam Qiyas
a. Qiyas Aulawi (lebih-lebih), yaitu qiyas yang ‘illat
hukum pada far’un lebih kuat daripada illat hukum asal. Jika ‘illat yang
ada pada asal lebih pantas untuk diterapkan pada far’un. Seperti
haramnya memukul ibu-bapak yang di-qiyas-kan dengan haramnya memaki-maki
mereka.
... فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفًّ
وَّلَا تَنْهَرْ هٌمَا ...
“...Maka sekali-sekali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka...” (Q.S. Al-Isra’/17:23)
Dilihat dari segi ‘illat
-nya, yaitu menyakiti, maka memukul itu lebih menyakitkan daripada memaki-maki
(dalam istilah mafhum ini disebut fahwal-khithab).
b. Qiyas Adna, yaitu qiyas yang‘illat hukum
pada far’un lebih lemah daripada ‘illat hukum pada asal. Misalnya, sifat
memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari
sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras khamar yang diharamkan.
يٰٓاَيُّهَاالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَاالْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ ...
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan...”(Q.S. Al-Maidah/5:90)
Meskipun pada ashal dan cabang
terdapat sama-sama terdapat sifat memabukkan sehingga dapat diberlakukan qiyas.
c.
Qiyas Musawi (kesamaan tingkat ‘illat-nya), yaitu qiyas yang illat hukum pada
far’un dan asal sama kualitasnya. Jika‘illat yang ada pada far’un
setingkat kesamaannya dengan yang ada pada asal. Misalnya, meng-qiyas-kan
keharaman membakar harta benda milik anak yatim dengan keharaman memakannya.
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْ كُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى
ظُلْمًااِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا .
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya,
dan mereka masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q.S. An-Nisa’/3:10)
Dilihat
dari segi ‘illat-nya antara membakar dan memakan adalah setingkat, yaitu
sama-sama melenyapkan (dalam istilah mafhum disebut lahnal-khithab)
d.
Qiyas Dilalah (menunjukkan), yaitu jika‘illat yang ada pada far’un menunjukkan
adanya hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti meng-qiyas-kan
kewajiban mengeluarkan zakat harta kekayaan anak-anak yatim dengan kewajiban
mengeluarkan zakat harta orang dewasa, alasan kedua-duanya adalah sebagai harta
benda yang mempunyai sifat dapat berkembang.
e.
Qiyas Syibhi (menyerupakan), yaitu meng-qiyas-kan
cabang (far’un) yang dimungkinkan di antara kedua ‘illat yang ada
pada asal (pangkal) dengan menggunakan ‘illat yang paling banyak
persamannya. Misalnya, seorang budak yang dibunuh, dapat di-qiyas-kan
dengan orang merdeka karena keduanya sama-sama manusia, sebagai anak keturunan
Adam. Tetapi dapat juga di-qiyas-kan dengan harta benda, karena mereka
dapat dimiliki, dijual dan diwakafkan. Dengan qiyas terakhir ini, hamba
sahaya yang mati dibunuh, pembunuhnya dapat menggantinya dengan nilainya
(harganya).
5.
Kedudukan Qiyas sebagai Dasar Hukum
Mayoritas ulama ushul fikih menempatkan posisi qiyas
sebagai salah satu dari dasar hukum Islam yang menempati urutan keempat setelah Al-Qur’an, Hadis dan ijmak.
Dalilnya berdasarkan Al-Qur’an, Hadis dan ijmak sahabat sebagai berikut.
1) Ayat-ayat Al-Qur’an, misalnya firman Allah swt.:
... فَاعْتَبِرُوْا
يٰآُو لِى الْاَبْصَارِ
“... Maka ambillah (kejadian itu)
untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Q.S.Al-Hasyr/59:2)
Para ulama usulfikih
menafsirkan kata i’tibar berarti menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang
lain ( قِيَاسُ شَيْئٍ بِالشَّيْئِ). Maka, mengambil
pelajaran dari suatu peristiwa termasuk qiyas. Semua ayat-ayat Al-Qur’an
yang mengandung suatu hukum karena adanya kesamaan ‘illat
dapat dijadikan alasan untuk menggunakan qiyas dan tentang wanita yang
sedang menstruasi. Menurut mayoritas ulama ‘illat yang menyebabkan
munculnya hukum itulah makna dari qiyas.
2) Hadis Nabi saw. yang telah populer, yaitu hadis yang
menjelaskan dialog Nabi saw. dengan Mu’az bin Jabal ketika hendak diutus
menjadi pejabat pemerintahan di wilayah Yaman. Nabi saw. menyetujui rencana
Mu’az bin Jabal untuk mengambil keputusan dengan menggunakan ar-ra’yu
(pemikiran), jika tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an maupun Hadis.
Menggunakan kemampuan berpikir melalui qiyas adalah bagian dari cara
menggunakan ar-ra’ya.
3) Ijmak para sahabat. Para sahabat Nabi saw. lelah mempraktikkan
penggunaan qiyas. Misalnya, ketika Khalifah Umar bin Khattab, menunjuk
Abu Musa al-Asy’ari menjadi hakim di Basrah, Irak. Beliau mengirimkan surat
kepada Abu Musa yang isinya antara lain menekankan agar menggunakan qiyas
dalam memutuskan persoalan yang tidak ditentukan dalam nas.
4) Akal (logika), bahwa hukum Allah itu untuk kemaslahatan
manusia. Karena itu, jika ada kemaslahatan yang belum terdapat dalam nas,
tetapi mempunyai kesamaan ‘illat dengan hukum yang sudah ada dalam nas,
cara yang paling tepat adalah men-qiyas-kannya.
6.
Kehujjahan Qiyas dan Pendapat Para Ulama
Telah terjadi perbedaan pendapat dalam
berhujjah dengan qiyas, ada yang membolehkannya dan melarangnya,
diantara contohnya adalah kifarat bagi yang berbuka puasa dengan sengaja di
bulan Ramadhan.
Bagi
mereka yang sengaja berbuka pada bulan Ramadhan, apakah diwajibkan kifarat
sebagaimana diwajibkan kifarat sebagaimana diwajibkan kifarat bagi yang sengaja
berbuka puasa dengan jima’?
Menurut
pendapat Malik, Abu Hanifah dan para penganut keduanya, Tsauri serta sebagian
jema’ah, bahwa perbuatan tersebut wajib diganti dengan qadha dan kifarat,
berdasarkan hadis Rasulullah SAW.
جَاءَ
رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ
يَارَسُوِلَ اللهِ , قَالَ: وَمَااَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِى
فِى رَمَضَانَ قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَاتَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لَا, قَالَ: هَلْ
تَسْتَطِيْعُ اَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا, قَالَ: هَلْ
تَجِدُ مَاتُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ فَأَتَى
النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمَرٌ قَالَ: خُذْ
تَصَدَّقْ بِهٰذَا . قَالَ: فَهَلْ عَلَى اَفْقَرَمِنَّا؟ فَوَاللهِ مَابَيْنَ لَا
بَتَيْهَا اَهْلَ بَيْتٍ اَحْوَجُ اِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى
اللهُ عَليَهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ اَنْيَابُهُ وَقَالَ: اِذْهَبْ
فَأَطْعِمْهُ اَهْلَكَ . ﴿رواه البخارى و مسلم﴾
“Telah
datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. ia berkata, “Celakalah aku, ya
Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Celaka kenapa?” “Aku telah bersetubuh dengan
istriku pada bulan Ramadhan”. Rasulullah bersabda, “Apakah kamu memiliki
sesuatu untuk memerdekaan abid?” ia menjawab, “tidak.” Nabi bertanya lagi,
“Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawan, “tidak.” Nabi
bersabda lagi, “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk disedekahkan kepada orang
miskin?” Dia menjawab, “tidak.” Kemudian ia duduk, lalu Nabi memberikan
kepadanya karung yang didalamnya terdapat kurma, “Bersedekahlah kamu dengan
ini!”. Dia bertanya, “Apakah aku harus menyedekahkan kepada orang yang lebih
miskin dariku, padahal tidak satu keluargapun dikampungku yang lebih
membutuhkan dari keluargaku.” Nabi tertawa dan berkata, “Pergilah dan berilah
keluargamu dengan makanan tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka
berhujjah dengan meng-qiyas-kan makan dan minum dengan jima’.
Adapun illat-nya menurut mereka adalah merusak kesucian bulan Ramadhan.
Adapun
golongan Zahir tidak mewajibkan kifarat kepada orang yang puasanya batal
disebabkan makan dan minum dengan sengaja. Mereka berpendapat bahwa hadis
tersebut menerangkan tentang jima’ pada bulan Ramadhan, bukan
menerangkan setiap yang membatalkan puasa.
Golongan Syafi’i dan Hambali
sependapat dengan pendapat Zahir di atas, yakni tidak adanya kifarat.
Hal ini tidak berarti mereka itu tidak menggunakan qiyas, tetapi
berpandangan bahwa illat seperti itu tidak cocok. Menurut pendapat
mereka, hadis tersebut hanya cocok untuk ijma’, tidak untuk selainnya.
Kesimpulan
Qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu
kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang
disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam ‘illat-nya. Rukun
qiyas yaitu adanya ashal (pokok/pangkal), far’un (cabang), ‘illat
(sebab), dan hukum asal. Sedangkan, macam-macam qiyas yaitu qiyas
aulawi (lebih-lebih), qiyas musawi (kesamaan tingkat ‘illatnya),
qiyas dilalah (menunjukkan), dan qiyas syibhi. Adapun kedudukan
qiyas sebagai dasar hukum yaitu menepati urutan keempat setelah Al-Qur’an,
Hadis dan ijma’ berdasarkan dalilnya pada Q.S.Al-Hasyr:2. Terdapat pula
kehujjahan qiyas oleh para ulama dalam membolehkan atau melarang qiyas, seperti
perbedan pendapat dalam metode pengambilan hukumnya ataupun perbedaan tetang ‘illat
dan pengaruhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar