KETIDAKJELASAN ARTI NASH
Al-Qur’an
diturunkan dalam berbahasa Arab sementara makna yang dikehendaki
sangat samar, namun demikian keberadaan Rasulullah menjelaskan ayat-ayat Al-
Qur’an yang tidak jelas yang populer disebut hadist (sabda, perbuatan, dan
ketetapan Nabi), selanjutnya pada gilirannya penjelasan Rasulullah pun juga
tidak jelas arti dan maksudnya. Oleh karena itu Ulama Ushuliyyin merumuskan
konstruksi kaidah-kaidah untuk dijadikan sarana memahami kedua sumber hukum
Islam tersebut. Dalam Al-Qur’an dan Hadist banyak sekali ketentuan hukum
yang tidak jelas yang oleh mayoritas Ulama di katagorikan pada empat macam
yaitu: Khafi, Mujmal, Musykil dan Mutasyabih.
Sebelum diuraikan
pengertian dan objek kajiannya, terlebih dahulu perlu diutarakan pengertian lafadz
dari ketidak jelasannya, ketidak jelasan lafadz (Al-Lafadz ghairu al-
wadlih) adalah suatu lafadz yang tidak jelas makna yang dikehendaki secara
mutlak atau tidak jelas maknanya pada sebagian indikasi yang dapat memperjelas
maknanya memang demikian karena lafadz tersebut bentuknya memang tidak jelas
dan jenis lafadz seperti ini hanya tuhan yang mengetahuinya, sepeti permulaan
surat-surat dalam Al-Qur’an sebagai contoh (الم, الر,
كهيعص) karena memang
lafadz-lafadz ini tidak jelas bagi kita, sementara ayat-ayat yang lain tidak
pernah menjelaskan kandungan maknanya. Ada juga ketidak jelasan lafadz (Al-fadz
ghairu al- wadlih) dapat dideteksi maknanya melalui pelacakan terhadap
ayat-ayat lain atau dari Sunnah, karena antara keduanya saling
menafsirkan satu sama lain.[1]
A. Khafi
Lafaz
khafi ialah:
مَا
خُفِيَ مَعْنَاهُ فِى بَعْضِ مَدْلُوْ لَاتِهِ لِعَارِضِ غَيْرِ الصِّغَةِ
Suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian
penunjukan (dilalah)-nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi
sighat lafadz.[2]
Khafi adalah lafadz yang dapat menunjukkan kepada
artinya secara jelas, namun ketika arti tersebut diaplikasikan kepada kasus
tertentu, maka ia menjadi samar dan tidak jelas. Hal tersebut terjadi karena
faktor kasus tersebut tidak sama persis dengan kasus yang dibicarakan oleh
dalil yang ada. Sebagai contoh:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِ يَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah
tangan keduanya (sebagian) sebagai pembalasan bagi apa yang telah mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa
lagi maha bijaksana”(Q.S.Al-Maidah:38)
Jika kita amati makna pencuri (والسارق) dalam ayat di atas, sangat jelas maknanya
yaitu setiap orang yang mengambil harta milik orang lain secara tersembunyi
dari tempat yang layak seperti umumnya orang menyimpan harta antara lain
lemari, kotak, penyimpan harta. Namun jika ayat di atas dibenturkan dengan
kasus yang lain, seperti pencopet (الطرار) yang melakukan pencurian secara
terang-terangan dan pencuri kafan mayat (النباش)di kuburan yang tidak jelas pemiliknya,
hal ini disebabkan mayat tidak punya hak memiliki harta benda. Oleh karena itu
kedua istilah baru ini berdampak kesamaran bagi sebagian jenis pencuri
dalam mengeneralkan penyebutan istilah pencuri. Untuk mengetahui hal ini
masih membutuhkan pemikiran lebih mendalam.
Menurut Abd.Al-Wahhab Khallaf, khafi adalah lafal
yang dari segi penujukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan
timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidakjelasan
itu disebabkan karena bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang
ditunjukan oleh suatu dalil.[3]
Ulama Ushul berpandangan dalam kasus di atas bahwa
pencuri (والسارق) mencuri harta benda secara tersembunyi sementara pencopet yang
mencuri secara teranng-terangan. Karena hal ini mereka berkonsensus bahwa
pencopet dihukumi sama dengan pencuri, artinya wajib memotong tangan pencopet,
bahkan ia lebih berhak untuk dipotong. Sementara untuk kasus pencuri kain kafan
mayoritas Ulama Hanafiyyah sepakat bahwa pencuri kafan tidak
dikatagorikan sebagai pencuri pada umumnya karena sesuatu yang terdapat dalam
kuburan tidak terhitung sebagai harta benda dan kafan tidak termasuk harta yang
disenangi masyarakat pada umumnya, sehingga sipelaku tidak dikatagorikan
sebagai pencuri yang dapat menyebabkan kewajiban potong tangan tetapi hanya dita’zir.
Sementara Ulama lain dan Abu Yusuf berpendapat sebaliknya yaitu ia terhitung
sebagai pencuri pada umumnya dan wajib dipotong tangannya.
Hukum khafi yaitu wajib berupaya memperjelas makna
yang dikehendaki, atrinya wajib menganalisa terhadap hal-hal yang dapat
menyebabkan adanya kesamaran.
B. Musykil
Lafaz musykil ialah:
مَا خُفِيَ مَعْنَاهُ بِسَبَبٍ
فِى ذَاتِ الَّلفْظِ
Suatu lafadz yang samar artinya, disebabkan oleh
lafaz itu sendiri.[4]
Musykil adalah lafadz yang tidak jelas maknanya
karena banyak makna yang dikandungnya sementara tidak ada lafadz lain yang
mengindikasikan untuk dimaknai tertentu, oleh karena itu untuk mengungkap
maknanya hanya dengan wujudnya indikator setelah melakukan analisis.
Sebagai contoh lafadz اني dalam firman Allah seperti فاتوا حرثكم اني شئتم lafadz ini memiliki banyak
makna seperti makna bagaimana caranya (كيف) seperti firman Allah yang lain اني يكون لى غلام Ia memiliki makna bagaimana
caranya (كيف). ada juga makna lain seperti makna (من اين) seperti firman
Allah اني لك هذا yang berarti من اين
.
Dengan demikian dari contoh di atas sangat
sulit untuk mengungkap makna yang dikehendaki, setelah melalui analisis Ulama
ushuliyyin lebih memprioritaskan makna bagaimana caranya (كيف),
dengan kata lain cara yang disukai melakukan hubungan intim pasangan suami
istri baik dilakukan dengan model duduk, berdiri, tidur terlentang, atau vagina
sang istri diserang dari belakang. Ulama ushuliyyin lebih memprioritaskan makna
ini karena dalam analisisnya memfokuskan pada lafadz الحرث Yaitu tempat
untuk memperoleh keturunan. Sementara dubur bukan tempat untuk
memperoleh keturunan.[5]
Hukum musykil yaitu wajib menganalisa sebagai
upaya memperjelas makna yang dikehendaki dari lafadz musykil.
C. Mujmal
Menurut
bahasa Al-Mujmal berarti samar.[6]
Dan menurut istilah berarti: lafaz
yang dengan bentuk (shigat)-nya tidak menunjukkan kepada pengertian yang
dikehendaki olehnya, dan tidak tedapat qarinat-qarinat lafaz atau keadaan yang
dapat menjelskannya. Maka sebab kesamaran di dalam al-mujmal ini bersifat
lafzhiy, bukan bersifat ‘aridhiy (sifat yang baru datang dari luar lafaznya).
Mujmal
adalah lafadz yang tidak jelas makna yang dikehendakinya pada bentuk lafadz itu
sendiri, dengan kata lain kesamaran itu hanya bisa dipahami dengan penjelasan mutakallim,
sehingga tidak mungkin bisa memahaminya hanya dengan mengandalkan akal tetapi
perlu juga melibatkan dalil naqli (penjelasan Allah atau rasulullah).
Sebagai contoh, lafadz (حق) pada ayat 141 surat al-An’am:.
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ...
“Dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya”(Q.S.Al-An’am:141)
Lafadz حق Pada ayat di atas pengertiannya tidak jelas, sehingga perlu
dalil-dalil lain untuk menperjelasnya. Penjelasan dari lafadz mujmal ini
disebut dengan al-Bayan. Al-Bayan dalam istilah Usul Fiqh adalah dalil
yang mengeluarkan suatu lafadz dari tidak jelas pengertiannya kepada pengertian
yang jelas Selanjutnya,
menurut Abu Ishaq al-syirazi (w.476 H/1083 M) ahli Usul Fiqh kalangan
Syafi’iyyah, al-bayan terdiri dari:[7]
a. Al-bayan bi al-qaul, yaitu penjelasan melalui
sabda rasulullah atau firman Allah swt.
في خمس من الابل شاة (HR.Abu
Dawud)
“Untuk
setiap lima ekor unta (zakatnya) seekor
kambing.”
Hadist ini merupakan Al-bayan dari
hitungan zakat unta.
b. Al-bayan bi al-mafhum,yaitu penjelasan melalui mafhum,
baik mafhum muhalafah maupun mafhum muafaqah contoh hadist riwayat Abu Dawud:
وفي سائمة الغمم الزكاة
(HR Abu Dawud)
“Dan pada kambing yang tidak dicarikan makanannya
dikenakan kewajiban zakat…”
Mafhum
mukhalafah dari hadist di atas adalah, bahwa kambing yang dicarikan
makanannya tidak wajib dizakati. Mafhum mukhalafah tersebut merupakan
penjelasan dari hadist tentang kewajiban zakat kambing di atas.
c. Al-Bayan bi al-fi’li, yaitu penjelasan melalui
perbuatan.
Contoh mengenai pelaksanaan ibadah haji yang
diperaktekkan Rasulullah. Dan para sahabat disuruh meniru seperti
yang beliau peraktekkan, beliau bersabda: “Hendaknya
kalian menagmbil (dariku) cara-cara
pelaksanaan haji kalian…”(HR.Abu
Dawud).
Praktek
ibadah haji Rasulullah merupakan al-bayan dari perintah Allah untuk
melalukan ibadah haji, seperti yang terdapat pada firman Allah.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا
“…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) setiap orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah.” (Q.S. Ali-Imran:97)
d. Al-bayan bi Al-Iqrar, yaitu penjelasan melalui
tetapan/pengakuan.
Seperti
mengenai ketetapan/pengakuan Rasulullah saw terhadap praktek shalat sunnah dua
rakaat setelah subuh karena adanya sebab, seperti yang dilakukan Qois ibn Amr.
Ketika menyaksikan perbuatan Qois ini Rasulullah mendiamkannya, padahal
sebelumnya beliau melarang intuk melakukan shalat sunnah setelah subuh sampai
matahari terbit. Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
ra: “Sesungguhnya Rasulullah melarang
shalat setelah subuh sampai terbitnya matahari.” (HR.bukhari)
e. Al-Bayan bi al-isyarah, yaitu
penjelasan melalui isyarah.
Contoh penunjukan Rasulullah tentang jumlah bilangan hari
dalam satu bulan, Sebagaimana yang terdapat dalam hadist yamg diriwayatkan Imam
Bukhari:
عن النبي صلي الله عليه وسلم انه قال الشهر هكذا
وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
“Dari Nabi saw, sesungguhnya
beliau bersabda “bulan itu (bintangnya)sekian dan sekian, yakni kadang-kadang
29 hari dan kadang-kadang 30 hari.” (HR. bukhari)
Hadist
ini merupakan Al-bayan dari jumlah hari pada bulan-bulan qamariah.
f. Al-Bayan Bi Al-kitabah, yaitu penjelasan melalui
tulisan.
Contoh
mengenai kewajiban zakat yang penjelasannya didapat dari tulisan Rasulullah.
Sebagaimana yang tercantum dalam hadist riwayat dari Salim:“Dari Salim, dari ayahnya, dia berkata bahwa
Rasulullah telah menulis tentang (kewajiaban) zakat, dan tidak mengeluarkannya
pada para petugasnya sampai beliau wafat…” (HR.
Abu Dawud)
Penjelasan
tentang kewajiban zakat yang termuat dalam tulisan seperti yang terdapat dalam
hadist riwayat dari Salim tersebut merupakan Al-bayan dari perintah untuk menunaikan
zakat.
g. Al-Bayan bi al-qiyas, yaitu penjelasan melalui
qiyas.
Contoh mengqiaskan minuman wisky
ini merupakan Al-bayan dari nash yang mengharamkan khamr seperti yang
terdapat pada ayat 90 surat Al-Ma’idah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya minuman khamr, berjudi, (berkurban
untuk) berhala mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk
perbuatan setan. Maka jahuilah perbuatan-perbuatan tersebut.”
Demikian
jenis-jenis al-bayan seperti yang dikemukakan Abu Ishaq Al-Syirazi. Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa al-bayan bisa diperoleh
melalui Al-qur’an, sunnah, dan ijtihad. Selanjutnya, kalangan Hanafiyyah
mengartikan mujmal sebagai lafadz yang tidak bisa diketahui maksudnya
kecuali ada penjelasan dari mujmal itu sendiri.[8]
Jika dilihat dari sisi yang lain, lafadz mujmal dapat berbentuk lafadz
yang asing, kemudian secara langsung dijelaskan maksudnya secara khusus oleh
nash sendiri, seperti lafadz القارعة dalam firman Allah :القارعة. ماالقارعة الاية Lafadz tersebut hanya dapat dipahami maksudnya setelah
ada penjelasan dari Allah, sementara maksudnya adalah hari kiamat. Selain itu
lafadz mujmal bisa berupa pindahan dari makna lughawi kepada makna
istilahi seperti lafadz الصلاة yaitu lafadz yang makna lughawinya dapat dipindah kepada makna
istilah, lafadz ini memiliki makna lughawi yang berarti do’a dan selanjutnya,
maknanya dipindah kepada istilah yang berarti ucapan dan perbuatan khusus
yang di awali dengan takbir dan di akhiri dengan salam. Bentuk mujmal
ini hanya dapat dijelaskan oleh hadist.
D. Mutasyabih
Mutasyâbbih ialah lafal yang petunjuknya memberikan arti yang
dimaksud oleh lafal itu sendiri, sehingga tidak ada di luar lafal yang
dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’
tidak menerangkan tentang artinya.[9]
Lafadz yang
samar maknanya, tidak mungkin untuk dapat memahami maknanya, oleh karena itu
tidak ada harapan untuk bisa memahaminya karena memang tidak ada penjelasan
dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah.[10]
Di antara lafadz
mutasyabih adalah huruf-huruf hija’iyah yang terpotong-potong pada
permulaan sebagian surat-surat Al-Qur’an, seperti: حم,
ق, ص, الم . Dan ayat-ayat yang
menurut zhahir-nya menunjukkan secara samar adanya penyerupaan Al-Khalik
kepada makhluk-Nya, seperti dalam hal Allah mempunyai mata, tangan, dan muka.
Contohnya :
وَاصْنَعِ
الْفُلْكَ بِأَعْيُنِن
“
Dan buatlah bahtera itu dengan mata- mata kami…” (Q.S.Hud/11/:37)
...يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ...
“ …Tangan Allah diatas tangan mereka…” (Q.S. Al-Fath/48:10)
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو
الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan
tetap kekal muka Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.”
(Q.S. Ar-Rahman/55:27)
Menurut ulama salaf, adanya kesamaran pada
huruf-huruf hija’iyah dan ayat-ayat tersebut dikarenakan tidak dapat
dipahami menurut arti bahasa. Lagi pula Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan
arti dan maksud yang dikehendaki. Dengan demikian menurut mereka hanya Allah lah
Yang Maha Mengetahui dan Maha Mendengar lagi pula Maha Suci dari segala sesuatu
yang menyerupai makhluk-Nya.
Sedangkan menurut ulama khalaf, bahwa ayat-ayat
yang menurut arti zhahir-nya mustahil seperti Allah mempunyai tangan,
mata, dan muka, itu semua harus di-ta’wil-kan dan dipalingkan dari arti zhahir-nya
kepada arti yang sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab
sekalipun dengan jalan majaz.[11]
Ushul
fiqh adalah ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara mengistimbatkan
hukum. Sekalipun ushul fiqh ini muncul setelah fiqh, tetapi secara teknisnya
sebelum fiqh itu ada terlebih dahulu ulama menggunakan ushul fiqhnya. Ilmu fiqh
adalah ilmu yang mengantarkan kepada pemahaman masalah-masalah fiqh, ilmu fiqh
ini sering dikenal dengan ushul fiqh yaitu dasar-dasar atau kaidah-kaidah yang
dijadikan patokan untuk memahami fiqh.
Dalam
Al- Qur’an dan hadist banyak sekali ketentuan hukum yang tidak jelas, untuk
memahaminya yang oleh mayoritas Ulama di katagorikan pada empat macam yaitu :
Khafi, Mujmal, Musykil dan Mutasyabih.
DAFTAR PUSTAKA
Aen,
I Nurol dan Djazuli, A. 2000 Ushul Fiqh : Methodologi Hukum Islam, Edisi I Cetakan I. Jakarta : PT Grafindo Persada.
Al-Zuhaili,
Wahbah. (1986), Ushul Fiqh Al Islami I.
Beirut : Daar Al Fikr
Aminuddin,
Akhyar dan Uman, Khairul. 2001. Ushul Fiqh
II. Bandung : CV. Pustaka Setia
As-Syarakhsi,
dkk. Ushul Al Syarakhsi Juz I. Beirut
: Daar Ma’rifah
Azhar, USHUL FIQIH, Medan, 2015.
Kementerian Agama RI,
(2012), Al Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta : PT Sinergi Pustaka Indonesia
Syarifuddin,
Amir. 2009. Ushul Fiqh Jilid 2 Edisi I
Cet. V. Jakarta: Kencana.
Zahrah, Muhammad Abu. 1994. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar