Senin, 04 April 2016

USHUL FIQH: KETIDAKJELASAN ARTI NASH



KETIDAKJELASAN ARTI NASH

Al-Qur’an diturunkan dalam berbahasa Arab sementara makna yang  dikehendaki sangat samar, namun demikian keberadaan Rasulullah menjelaskan ayat-ayat Al- Qur’an yang tidak jelas yang populer disebut hadist (sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi), selanjutnya pada gilirannya penjelasan Rasulullah pun juga tidak jelas arti dan maksudnya. Oleh karena itu Ulama Ushuliyyin merumuskan konstruksi kaidah-kaidah untuk dijadikan sarana memahami kedua sumber hukum Islam tersebut.  Dalam Al-Qur’an dan Hadist banyak sekali ketentuan hukum yang tidak jelas yang oleh mayoritas Ulama di katagorikan pada empat macam yaitu: Khafi, Mujmal, Musykil dan Mutasyabih.
Sebelum diuraikan pengertian dan objek kajiannya, terlebih dahulu perlu diutarakan pengertian lafadz dari ketidak jelasannya, ketidak jelasan lafadz (Al-Lafadz ghairu al- wadlih) adalah suatu lafadz yang tidak jelas makna yang dikehendaki secara mutlak atau tidak jelas maknanya pada sebagian indikasi yang dapat memperjelas maknanya memang demikian karena lafadz tersebut bentuknya memang tidak jelas dan jenis lafadz seperti ini hanya tuhan yang mengetahuinya, sepeti permulaan surat-surat dalam Al-Qur’an sebagai contoh (الم, الر, كهيعص) karena memang lafadz-lafadz ini tidak jelas bagi kita, sementara ayat-ayat yang lain tidak pernah menjelaskan kandungan maknanya. Ada juga ketidak jelasan lafadz (Al-fadz ghairu al- wadlih) dapat dideteksi maknanya melalui pelacakan terhadap ayat-ayat lain atau  dari Sunnah, karena antara keduanya saling menafsirkan satu sama lain.[1]
 
A.       Khafi
       Lafaz khafi ialah:
مَا خُفِيَ مَعْنَاهُ فِى بَعْضِ مَدْلُوْ لَاتِهِ لِعَارِضِ غَيْرِ الصِّغَةِ
Suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafadz.[2]

            Khafi adalah lafadz yang dapat menunjukkan kepada artinya secara jelas, namun ketika arti tersebut diaplikasikan kepada kasus tertentu, maka ia menjadi samar dan tidak jelas. Hal tersebut terjadi karena faktor kasus tersebut tidak sama persis dengan kasus yang dibicarakan oleh dalil yang ada. Sebagai contoh:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِ يَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan keduanya (sebagian) sebagai pembalasan bagi apa yang telah mereka  kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.  Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”(Q.S.Al-Maidah:38)
            Jika kita amati makna pencuri (والسارق) dalam ayat di atas, sangat jelas maknanya yaitu setiap orang yang mengambil harta milik orang lain secara tersembunyi dari tempat yang layak seperti umumnya orang menyimpan harta antara lain lemari, kotak, penyimpan harta. Namun jika ayat di atas dibenturkan dengan kasus  yang lain, seperti pencopet (الطرار) yang melakukan pencurian secara terang-terangan dan pencuri kafan mayat (النباش)di kuburan yang tidak jelas pemiliknya, hal ini disebabkan mayat tidak punya hak memiliki harta benda. Oleh karena itu kedua istilah baru ini  berdampak kesamaran bagi sebagian jenis pencuri  dalam mengeneralkan penyebutan istilah pencuri. Untuk mengetahui hal ini masih membutuhkan pemikiran lebih mendalam.
            Menurut Abd.Al-Wahhab Khallaf, khafi adalah lafal yang dari segi penujukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidakjelasan itu disebabkan karena bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukan oleh suatu dalil.[3]
            Ulama Ushul berpandangan dalam kasus di atas bahwa pencuri  (والسارق) mencuri harta benda secara tersembunyi sementara pencopet yang mencuri secara teranng-terangan. Karena hal ini mereka berkonsensus bahwa pencopet dihukumi sama dengan pencuri, artinya wajib memotong tangan pencopet, bahkan ia lebih berhak untuk dipotong. Sementara untuk kasus pencuri kain kafan mayoritas  Ulama Hanafiyyah sepakat bahwa pencuri kafan tidak dikatagorikan sebagai pencuri pada umumnya karena sesuatu yang terdapat dalam kuburan tidak terhitung sebagai harta benda dan kafan tidak termasuk harta yang disenangi masyarakat pada umumnya, sehingga sipelaku tidak dikatagorikan sebagai pencuri yang dapat menyebabkan kewajiban potong tangan tetapi hanya dita’zir. Sementara Ulama lain dan Abu Yusuf berpendapat sebaliknya yaitu ia terhitung sebagai pencuri pada umumnya dan wajib dipotong tangannya.
            Hukum khafi yaitu wajib berupaya memperjelas makna yang dikehendaki, atrinya wajib menganalisa terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan adanya kesamaran.

B.   Musykil
     Lafaz musykil ialah:
مَا خُفِيَ مَعْنَاهُ بِسَبَبٍ فِى ذَاتِ الَّلفْظِ
Suatu lafadz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri.[4]

            Musykil adalah  lafadz yang tidak jelas maknanya karena banyak makna yang dikandungnya sementara tidak ada lafadz lain yang mengindikasikan untuk dimaknai tertentu, oleh karena itu untuk mengungkap maknanya hanya dengan wujudnya indikator setelah melakukan analisis.
            Sebagai contoh lafadz اني dalam firman Allah seperti فاتوا حرثكم اني شئتم  lafadz ini memiliki banyak makna seperti makna bagaimana  caranya (كيف) seperti firman Allah yang lain  اني يكون لى غلام Ia memiliki makna bagaimana caranya (كيف). ada juga makna lain  seperti makna (من اين) seperti firman Allah اني لك هذا yang berarti من اين  .
    Dengan demikian dari contoh di atas sangat sulit untuk mengungkap makna yang dikehendaki, setelah melalui analisis Ulama ushuliyyin lebih memprioritaskan makna bagaimana caranya (كيف), dengan kata lain cara yang disukai melakukan hubungan intim pasangan suami istri baik dilakukan dengan model duduk, berdiri, tidur terlentang, atau vagina sang istri diserang dari belakang. Ulama ushuliyyin lebih memprioritaskan makna ini karena dalam analisisnya memfokuskan pada lafadz  الحرث Yaitu tempat untuk memperoleh keturunan. Sementara dubur bukan tempat untuk memperoleh keturunan.[5]
            Hukum musykil yaitu wajib menganalisa sebagai upaya memperjelas makna yang dikehendaki dari lafadz musykil.

C.  Mujmal
    Menurut bahasa Al-Mujmal berarti samar.[6] Dan menurut istilah berarti: lafaz yang dengan bentuk (shigat)-nya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendaki olehnya, dan tidak tedapat qarinat-qarinat lafaz atau keadaan yang dapat menjelskannya. Maka sebab kesamaran di dalam al-mujmal ini bersifat lafzhiy, bukan bersifat ‘aridhiy (sifat yang baru datang dari luar lafaznya).
   Mujmal adalah lafadz yang tidak jelas makna yang dikehendakinya pada bentuk lafadz itu sendiri, dengan kata lain kesamaran itu hanya bisa dipahami dengan penjelasan mutakallim, sehingga tidak mungkin bisa memahaminya hanya dengan mengandalkan akal tetapi perlu juga melibatkan dalil naqli (penjelasan Allah atau rasulullah). Sebagai contoh, lafadz (حق) pada ayat 141 surat al-An’am:.
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ...
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya”(Q.S.Al-An’am:141)
           Lafadz حق Pada ayat di atas pengertiannya tidak jelas, sehingga perlu dalil-dalil lain untuk menperjelasnya. Penjelasan dari lafadz mujmal ini disebut dengan al-Bayan. Al-Bayan dalam istilah Usul Fiqh adalah dalil yang mengeluarkan suatu lafadz dari tidak jelas pengertiannya kepada pengertian yang jelas Selanjutnya, menurut Abu Ishaq al-syirazi (w.476 H/1083 M) ahli Usul Fiqh kalangan Syafi’iyyah, al-bayan terdiri dari:[7]
a.    Al-bayan bi al-qaul, yaitu penjelasan melalui sabda rasulullah atau firman Allah swt.
في خمس من الابل شاة    (HR.Abu Dawud)
“Untuk setiap lima ekor unta (zakatnya) seekor  kambing.”
            Hadist ini merupakan Al-bayan dari hitungan zakat unta.
b.    Al-bayan bi al-mafhum,yaitu penjelasan melalui mafhum, baik mafhum muhalafah maupun mafhum muafaqah contoh hadist riwayat Abu Dawud:
                                                      وفي سائمة الغمم الزكاة       (HR Abu Dawud)
“Dan pada kambing yang tidak dicarikan makanannya dikenakan kewajiban zakat…”
            Mafhum mukhalafah dari hadist di atas adalah, bahwa kambing yang dicarikan makanannya tidak wajib dizakati. Mafhum mukhalafah tersebut merupakan penjelasan dari hadist tentang kewajiban zakat kambing di atas.
c.    Al-Bayan bi al-fi’li, yaitu penjelasan melalui perbuatan.
            Contoh mengenai  pelaksanaan ibadah haji yang diperaktekkan Rasulullah. Dan para sahabat disuruh   meniru seperti yang beliau peraktekkan, beliau bersabda: “Hendaknya kalian menagmbil (dariku) cara-cara  pelaksanaan haji kalian…”(HR.Abu Dawud).
            Praktek ibadah haji Rasulullah merupakan al-bayan dari perintah Allah untuk melalukan ibadah haji, seperti yang terdapat pada firman Allah.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
 “…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) setiap orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Q.S. Ali-Imran:97)
d.    Al-bayan bi Al-Iqrar, yaitu penjelasan melalui tetapan/pengakuan.
            Seperti mengenai ketetapan/pengakuan Rasulullah saw terhadap praktek shalat sunnah dua rakaat setelah subuh karena adanya sebab, seperti yang dilakukan Qois ibn Amr. Ketika menyaksikan perbuatan Qois ini Rasulullah mendiamkannya, padahal sebelumnya beliau melarang intuk melakukan shalat sunnah setelah subuh sampai matahari terbit. Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: Sesungguhnya Rasulullah melarang shalat setelah subuh sampai terbitnya matahari.” (HR.bukhari)
e.    Al-Bayan bi al-isyarah, yaitu penjelasan melalui isyarah.
            Contoh penunjukan Rasulullah tentang jumlah bilangan hari dalam satu bulan, Sebagaimana yang terdapat dalam hadist yamg diriwayatkan Imam Bukhari:
عن النبي صلي الله عليه وسلم انه قال الشهر هكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
“Dari Nabi saw, sesungguhnya beliau bersabda “bulan itu (bintangnya)sekian dan sekian, yakni kadang-kadang 29 hari  dan kadang-kadang 30 hari.” (HR. bukhari)
            Hadist ini merupakan Al-bayan dari jumlah hari pada bulan-bulan qamariah.
f.     Al-Bayan Bi Al-kitabah, yaitu penjelasan melalui tulisan.
            Contoh mengenai kewajiban zakat yang penjelasannya didapat dari tulisan Rasulullah. Sebagaimana yang tercantum dalam hadist riwayat dari Salim:“Dari Salim, dari ayahnya, dia berkata bahwa Rasulullah telah menulis tentang (kewajiaban) zakat, dan tidak mengeluarkannya pada para petugasnya sampai beliau wafat…” (HR. Abu Dawud)
            Penjelasan tentang kewajiban zakat yang termuat dalam tulisan seperti yang terdapat dalam hadist riwayat dari Salim tersebut merupakan Al-bayan dari perintah untuk menunaikan zakat.
g.    Al-Bayan bi al-qiyas, yaitu penjelasan melalui qiyas.
            Contoh mengqiaskan minuman wisky ini merupakan Al-bayan dari nash yang mengharamkan khamr seperti yang terdapat pada ayat 90 surat Al-Ma’idah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya minuman khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jahuilah perbuatan-perbuatan tersebut.”
    Demikian jenis-jenis al-bayan seperti yang dikemukakan Abu Ishaq Al-Syirazi. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa al-bayan bisa diperoleh  melalui Al-qur’an, sunnah, dan ijtihad. Selanjutnya, kalangan Hanafiyyah mengartikan mujmal sebagai lafadz yang tidak bisa diketahui maksudnya kecuali ada penjelasan dari mujmal itu sendiri.[8] Jika dilihat dari sisi yang lain, lafadz mujmal dapat berbentuk lafadz yang asing, kemudian secara langsung dijelaskan maksudnya secara khusus oleh nash sendiri, seperti lafadz القارعة  dalam firman Allah :القارعة. ماالقارعة الاية Lafadz tersebut  hanya dapat dipahami maksudnya setelah ada penjelasan dari Allah, sementara maksudnya adalah hari kiamat. Selain itu lafadz mujmal bisa berupa pindahan dari makna lughawi kepada makna istilahi seperti lafadz الصلاة yaitu lafadz yang makna lughawinya dapat dipindah kepada makna istilah, lafadz ini memiliki makna lughawi yang berarti do’a dan selanjutnya, maknanya  dipindah kepada istilah yang berarti ucapan dan perbuatan khusus yang di awali dengan takbir dan di akhiri dengan salam. Bentuk mujmal ini hanya dapat dijelaskan oleh hadist.

D.  Mutasyabih
   Mutasyâbbih ialah lafal yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri, sehingga tidak ada di luar lafal yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.[9]
  Lafadz yang samar maknanya, tidak mungkin untuk dapat memahami maknanya, oleh karena itu tidak ada harapan untuk bisa memahaminya karena memang tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah.[10]
  Di antara lafadz mutasyabih adalah huruf-huruf hija’iyah yang terpotong-potong pada permulaan sebagian surat-surat Al-Qur’an, seperti: حم, ق, ص, الم . Dan ayat-ayat yang menurut zhahir-nya menunjukkan secara samar adanya penyerupaan Al-Khalik kepada makhluk-Nya, seperti dalam hal Allah mempunyai mata, tangan, dan muka. Contohnya :
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِن
“ Dan buatlah bahtera itu dengan mata- mata kami…” (Q.S.Hud/11/:37)
...يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ   ...
“ …Tangan Allah diatas tangan mereka…” (Q.S. Al-Fath/48:10)
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal muka Tuhanmu yang mempunyai  kebesaran dan kemuliaan.”
(Q.S. Ar-Rahman/55:27)
Menurut ulama salaf, adanya kesamaran pada huruf-huruf hija’iyah dan ayat-ayat tersebut dikarenakan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Lagi pula Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan arti dan maksud yang dikehendaki. Dengan demikian menurut mereka hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mendengar lagi pula Maha Suci dari segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya.
Sedangkan menurut ulama khalaf, bahwa ayat-ayat yang menurut arti zhahir-nya mustahil seperti Allah mempunyai tangan, mata, dan muka, itu semua harus di-ta’wil-kan dan dipalingkan dari arti zhahir-nya kepada arti yang sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab sekalipun dengan jalan majaz.[11]

Kesimpulan
Ushul fiqh adalah ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara mengistimbatkan hukum. Sekalipun ushul fiqh ini muncul setelah fiqh, tetapi secara teknisnya sebelum fiqh itu ada terlebih dahulu ulama menggunakan ushul fiqhnya. Ilmu fiqh adalah ilmu yang mengantarkan kepada pemahaman masalah-masalah fiqh, ilmu fiqh ini sering dikenal dengan ushul fiqh yaitu dasar-dasar atau kaidah-kaidah yang dijadikan patokan untuk memahami fiqh.
Dalam Al- Qur’an dan hadist banyak sekali ketentuan hukum yang tidak jelas, untuk memahaminya yang oleh mayoritas Ulama di katagorikan pada empat macam yaitu : Khafi, Mujmal, Musykil dan Mutasyabih.
  
DAFTAR PUSTAKA

            Aen, I Nurol dan Djazuli, A. 2000  Ushul Fiqh : Methodologi Hukum  Islam, Edisi I Cetakan I. Jakarta : PT Grafindo Persada.
            Al-Zuhaili, Wahbah. (1986), Ushul Fiqh Al Islami I. Beirut : Daar Al Fikr
            Aminuddin, Akhyar dan Uman, Khairul. 2001. Ushul Fiqh II. Bandung : CV. Pustaka Setia
            As-Syarakhsi, dkk. Ushul Al Syarakhsi Juz I. Beirut : Daar Ma’rifah
            Azhar, USHUL FIQIH, Medan, 2015.
        Kementerian Agama RI, (2012), Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : PT Sinergi Pustaka Indonesia
            Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh Jilid 2 Edisi I Cet. V. Jakarta: Kencana.
            Zahrah, Muhammad Abu. 1994. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus


[1]  Muhammaad Abu Zahrah,...... Jakarta,h. 124
[2] Amir Syarifuddin, .......Jakarta,2009,h. 13
[3] Effendi.......Jakarta,2008, h. 226
[4] Amir Syarifuddin, .....h. 16
[5] Wahba Al Zuhali,......1986, h.  338
[6] A. Djazuli dan I. Nurol Aen, .......Jakarta: 2000, h. 270.
[7] Muhammaad Abu Zahrah, ..... 127
[8] Abu Bakar Ibn Muhammad Al- Sarakhsi......1993, h. 168
[9] Khairul Uman dan A. Ahyar Aminudin...Bandung : 2001, h. 18.
[10] Muhammaad Abu Zahrah,...h. 227
[11] A. Djazuli dan I. Nurol Aen, ... h. 272-273.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar