Senin, 04 April 2016

Al-Ahkam Asy-Syar’iyah: MAHKUM FIH

            Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, maupun yang terkait) dengan hukum wad’i  (seperti: sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhsoh). Untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram, atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih, berikut penjelasan mahkum fih. Melalui makalah ini kami yang dibebani tugas untuk mengkaji materi ini akan memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai mahkum fih.

1.       Pengertian Mahkum Fih
            Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itu adalah hukum, baik hukum wajib maupun hukum yang haram.[1] Dalam kajian ushul fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
هُوَ الْفِعْلُ الْمُكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقُ بِـهِ حُكْمُ الشَّارِعِ
Suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’.”[2]
            Objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya daging babi. Pada “daging babi” itu tidak berlaku hukum baik suruhan maupun larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”; yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
            Hukum syara’ terdiri atas dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i, hukum taklifi berhubungan dengan perbuatan mukallaf dan hukum wad’i itu sebagianya tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf semisal matahari tergelincir pada siang hari, itu menunjukkan bahwa sudah masuk waktu sholat dzuhur.[3]
2.       Syarat-Syarat Mahkum Fih
            Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
2.1  Perbuatan yang dibebankan diketahui secara sempurna dan rinci oleh mukallaf sehingga ia mampu melakukan secara lengkap sesuai dengan yang diperintahkan Allah kepadanya. Atas dasar ini, perintah yang masih bersifat mujmal (global) dalam al-Qur’an baru dibebankan dan diwajibkan kepada mukallaf setelah ada penjelasan secara rinci dari Nabi Saw.[4] Seperti firman Allah swt :
وَأَقِيْمُوا الصَّلاَةَ ...
“Dirikanlah shalat... (Q.S. Al-Baqarah: 43)

            Nash al-Qur’an ini bersifat global belum dijelaskan tentang rukun, syarat dan cara pelaksanaannya. Bagaimana seorang mukallaf dituntut melakukan shalat padahal ia tidak tahu cara melaksanakannya? Oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan keglobalan nash itu dengan sabda beliau :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلّ
            “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melaksanakan shalat.”[5]
 
.2.2  Mukallaf mengetahui secara pasti bahwa taklif tersebut datang dari pihak yang berwenang membuat taklif dan pihak yang diyakini, mukallaf wajib untuk diikuti hukumnya. Dalam hal ini, pihak yang berwenang memberikan taklif adalah Allah dan rasul-Nya. Dengan pengertahuan ini, mendorong mukallaf untuk mematuhi  dan mentaati perintah Allah dan rasul-Nya.
            Adapun yang dimaksud para ahli ushul fiqh dengan pengetahuan mukallaf tentang sumber taklif adalah kemungkinan mukallaf untuk mengatahuinya. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui kemampuannya memahami taklif dari al-Qur’an dan Sunnah atau ia bertanya kepada orang yang lebih tahu darinya (ulama).
2.3  Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang merupakan perbuatan yang mampu dilakukan dan ditinggalkan mukallaf. Ini disebabkan karena perintah dan larangan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah itu untuk ditaati oleh mukallaf. Sehubungan dengan syarat taklif ketiga, ada tiga permasalah penting :
a)  Tidak sah secara syara’ taklif terhadap suatu yang mustahil menurut pandangan Jumhur, seperti melihat dzatnya sendiri atau melihat selain itu  baik mustahil lizatihi yaitu sesuatu yang tidak tergambar oleh akal tentang adanya; seperti mengumpulkan dua hal yang bertentangan sekaligus.[6] Untuk itu, mustahil secara akal adanya keharusan melakukan suatu perintah dan larangan pada waktu yang sama bagi seorang mukallaf. Dan mustahil li ghairihi yaitu suatu yang tergambar dalam akal tentang adanya, tetapi secara realitas mustahil dilakukan manusia, seperti perintah untuk terbang di udara bagi mukallaf tanpa menggunakan pesawat terbang atau alat bantu.
            Menurut Jumhur Ulama, ketidaksahan taklif terhadap sesuatu yang mustahil didasarkan pada dua alasan. Pertama, banyak ayat al-Qur’an yang intinya menjelaskan bahwa Allah tidak memberikan suatu taklif kecuali sesuai dengan kemampuan manusia.   Salah satu ayat al-Qur’an adalah surat Al-Baqarah ayat 286 :
لَايُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ...
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
            Kedua, apabila sah taklif dengan suatu perbuatan yang mustahil, tentu mukallaf dituntut mewujudkan taklif tersebut. Hal ini tidak dapat diterima karena mustahil untuk melaksanakannya.
b)  Tidak sah secara syara’ memberikan taklif kepada mukallaf untuk melakukan atau menghentikan suatu perbuatan atas nama orang lain karena hal tersebut mustahil bagi dirinya. Oleh sebab itu, seorang mukallaf tidak dibebani kewajiban shalat buat orang tuanya, membayar zakat atas nama saudaranya dan menahan dirinya atas nama tetangga untuk tidak mencuri.[7]
c)  Tidak sah pembebanan dengan masalah-masalah yang bersangkutan dengan sifat-sifat yang tidak daya dan usaha manusia dalam mengadakannya.[8] Seperti sikap marah, benci, takut, gembira, kasih sayang, cinta, gairah makan dan minum. Perbuatan-perbuatan seperti ini, menurut ulama ushul fiqh, bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia. Oleh sebab itu, tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu.
            Dari syarat ketiga di atas, yaitu perbuatan taklif itu tidak ada kemungkinan dikerjakan atau ditinggalkan mukallaf, muncul persoalan lain yang dikemukakan para ulama ushul fiqh yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah? Dalam hal ini para ulama ushul fiqh membagi masyaqqah terhadap dua bentuk, yaitu masyaqqah mu’taddah (kesulitan biasa dan dapat diduga) dan masyaqqah ghair mu’taddah (kesulitan di luar kebiasaan dan sulit diduga). Yaitu:
1.    Masyaqqah mu’taddah (المشقّة المعتادة) adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudlaratan baginya. Masyaqqah seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’ dari manusia dan hal ini bisa terjadi, karena seluruh perbuatan (amalan) dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, mengerjakan shalat itu bisa melelahkan badan. Kesulitan seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh, berfungsi sebagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan seorang hamba dalam menjalankan taklif  syara’. Dengan demikian, masyaqqah separti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk melaksanakan taklif  syara’.
2.    Masyaqqah ghair mu’taddah (المشقّة غير المعتادة), adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun masyarakat, serta pada umumnya kesulitan seperti ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat. Kesulitan seperti ini pun, menurut ulama ushul fiqh, secara logika, dapat diterima sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi, karena Allah sendiri tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya untuk memberikan kesulitan bagi manusia. Misalnya, Allah tidak pernah memerintahkan hamba-Nya untuk berpuasa siang dan malam.
3.      Macam-macam Mahkum Fih
            Para ulama ushul fiqh membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
3.1    Dari segi keberadaannya secara material dan syara’
a.    Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum.
b.    Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menyebabkan adanya hukum syara’ yaitu hudud dan qishas.
c.    Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
d.   Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’, serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual-beli, dan sewa menyewa.
3.2    Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri
a.    Semata-mata hak Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa terkecuali. Hak yang sifatnya semata-mata hak Allah ini, menurut ulama ushul fiqh, ada delapan macam, yaitu :
      Ibadah mahdhah (murni), seperti iman dan rukun Islam.
      Ibadah yang mengandung makna bantuan atau santunan, seperti zakat fitrah, karenanya disyaratkan niat dalam zakat fitrah, dan kewajiban zakat itu berlaku untuk semua orang
      Bantuan atau santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari bumi
      Biaya atau santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.[9]
      Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana.
      Hukuman yang tidak sempurna, seperti seorang yang tidak diberi hak waris atau wasiat, karena ia membunuh pemilik harta tersebut
      Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah, kafarat dhihar.
      Hak-hak yang harus dibayar, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang
b.    Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak
c.    Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina)
d.   Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.[10]

 Kesimpulan
Dari pemahaman penulis, mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum yang lima, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub/sunnah, tahrim/haram, karahah/makruh, ibahah/mubah.
Syarat-syarat mahkum fih antara lain: perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya, harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya dan bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf.




[1] Prof.DR.Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2007), 317.
[2] Drs.H.Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta Timur : Rajawali Pers, 1993), 166.
[3] Prof. dr. Amir syarifuddin, ushul fiqh jilid 1 (Jakarta: logos wacana ilmu . 1997), 350
[4] Firdaus, Ushul Fiqh (Jakarta Timur : Zikrul Hakim, 2004),273.
[5] Prof,Dr.Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta : Darul Qalam, 1977), 179.
[6] Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami Wa Usulihi (damakus: darul fikri, 2005), 137
[7] Firdaus, Ushul Fiqh (Jakarta Timur : Zikrul Hakim, 2004),275-276.
[8] Drs.H.Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta Timur : Rajawali Pers, 1993), 169.
[9] Dr. H. Nasrun Haroen Ushul Fiqh I(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), 298-303.
[10] Prof.DR.Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2007),333.

TA’ARUD ADILLAH: TARJIH


            Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al Quran, sebelum diberlakukan terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi otensitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase perkembangannya, para generasi periwayatan (tabaqat) dapat dipastikan memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa suatu hadits benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.
            Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istinbath hukumnya maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan (semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada hakekatnya dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan hadits) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan diantaranya. Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah SWT. Untuk pembahasan kali ini agar tidak melebar, maka penulis hanya akan memfokuskan pada bagaimana hakikat dari metode tarjih dan bagaimana metode tarjih itu diberlakukan?

1.       Pengertian Tarjih
            Secara bahasa, tarjih ( ترجح ) berasal dari kata “rojjaha yurajjihu tarjihan”, yang berarti menguatkan atau mengambil sesuatu yang lebih kuat. Tarjih, secara difinisi adalah  menguatkan salah satu dari dua dalil dzhanny supaya bisa beramal dengan yang sudah dikuatkan.[1]
            Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq (mengamalkan dua dalil yang kontradiksi). Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.[2]
            Sedangkan secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:
a.       Menurut Ulama Hanafiyah :
اِظْهَارُ زِيَادَةٍ لِأَحَدِ الْمُتَمَا ثِلَيْنِ عَلَى الْأَخَرِ بِمَا لَايَسْتَقِلُّ
 Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
            Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukungnya.[3]
b.       Menurut Jumhur Ulama:
تَقْوِ يَةُ إِحْدَى اْلإِمَارَتَيْنِ عَلَى الْأُخْرٰى لِيَعْمَلَ بِهَا
 Meniatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”
 
            Dengan pengertian tersebut, jumhur membatasi tarjih dalam dalil yang bersifat zhanni saja, karena masalah ini tidak termasuk dalam persoalan-persoalan yang qath’i (pasti) dan tidak juga antara zhanni dengan yang qath’i. Jumhur Ulama ushul sepakat bahwasanya apabila sudah terjadi pentarjihan dalil, maka dalil yang rajih atau yang dikuatkan wajib diamalkan. Alasannya karena, kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya dalam berbagai kasus.[4]
            Para ulama usul fiqh sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan. Alasan yang diajukan adalah kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para sahabat Rasulullah dalam menguatkan suatu dalil dari dalil-dalil lainnya dalam berbagai persoalan (kasus).
            Misalnya, dalam kasus perbuatan yang mewajibkan mandi; para sahabat menguatkan hadits yang bersumber dari `Aisyah ra tentang iltiqa` al-khitanaini (bertemunya alat vital laki-laki dan alat vital perempuan)[5] hadits riwayat Muslim dan al-Tirmidzi dari pada hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa:
عن ابى هريرة رضي اللهعنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : انما الماء من الماء.  (رواه مسلم)
"Dari Abu Hurairah ra ia berkata : bahwa Nabi SAW bersabda: air itu berasal dari air". (HR. Muslim)

            Maksud hadits ini bahwa, apabila keluar mani, baru mandi wajib. Namun bila tidak keluar mani sekalipun telah bertemu dua alat vital tetap tidak diwajibkan mandi. Inti pemahaman hadits ini adalah keluar mani bukan bertemu dua alat vital.
            Para sahabat juga menguatkan hadits tentang seseorang berpuasa dalam keadaan berjunub (H.R. al-Bukhari dan Muslim, dari `Aisyah dan Ummi Salamah) dari pada hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa siapa yang berpuasa dalam keadaan junub pagi hari, maka puasanya tidak sah (H.R.Ibnu Hibban).
            Oleh karena itu, para ulama usul fiqh berpendapat bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang rajih itu wajib diamalkan.
            Tarjih dapat diartikan ialah menguatkan salah satu dalil dari dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut.[6]
2.      Syarat – Syarat Tarjih
Sebelum melakukan tarjih perlu diketahui syarat-syaratnya :
a.    Yang menjadi soal itu satu masalah tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji, maka semua riwayatnya urusan haji.
b.    Dalil-dalil yang berlawanan harus sama kekuatanya, seperti al-Quran dengan al-Quran, dan hadis  mutawatir dengan hadis-hadis mutawatir pula.
c.    Harus ada persesuaian hukum antara keduanya baik waktunya, tempatnya, dan keadaannya. Misalnya larangan jual beli sesudah ada azan Jumat, di waktu yang lain jual beli dibolehkan.
3.    Cara Pen-tarjih-an
            Cara-cara mentarjih dapat dibagi menjadi dibagi menjadi dua, yaitu: (1) at-Tarjih baina an-Nushush, yaitu menguatkan salah satu nash (ayat al-qur’an atau hadist) yang saling bertentangan dan (2) at-Tajih  baina al-Qiyas, yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi yang bertentangan).
3.1    Tarjih bain an-Nushush
3.1.1.  Tarjih ditinjau dari segi sanad
a.    Hendaklah dipilih sanadnya yang banyak rawinya dari pada yang sedikit.
b.   Hendaklah dipilih rawi-rawinya yang ahli fiqih dari pada yang bukan karena mereka lebih mengetahui maksud yang diriwayatkan.
c.    Hendaklah dipilih yang rawi-rawinya lebih banyak hapalannya dari pada yang lainnya.
d.   Hendaklah dipilih rawinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakannya karena biasanya ia lebih mengetahuinya.
e.    Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan, dan
f.    Hendaklah dipilih rawi-rawi yang banyak bergaul dengan Nabi Saw.
3.1.2  Tarjih ditinjau dari segi matan[7]
a.  Teks yang  mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak segala kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
b.  Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang menunjukan kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukum  bolehnya telah terbawa sekaligus.
c.  Makna hakikat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya, karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi lain untuk menguatkannya.
d.   Dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum.
e.  Teks umum yang belum dikhususkan (di-takhsis) lebih didahulukan daripada teks umum yang telah dikhususkan (takhsis).
f.     Teks yang sifatnya perkataan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
g.   Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang yang mufassar, karena teks yang muhkam lebih pasti dibanding teks mufassar.
h.    Teks yang syarih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran (kinayah).

3.1.3.  Tarjih ditinjau dari segi isi / kandungan
a.    Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
b.   Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya (al-mutsbit ‘alan nafi).
c. Mendahulukan yang mengandung pembatalan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
d.   Mendahulukan yang hukumannya ringan dari pada yang berat, dan
e.    Mendahulukan yang menetapkan hukum ashal atau Bara’ah ashliyah.
3.1.4   Tarjih ditinjau dari segi-segi yang diluar Nash
a.    Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil-dalil lain.
b.    Didahulukan hadis qauliyah dari pada fi’liyah, dan
c.    Didahulukan hadits (riwayat) yang lebih menyerupai dhahir al-Qur’an.
3.2    Tarjih bain al-Aqyisah[8]
3.2.1   Dari Segi Hukum Ashl
a.    Menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari yang zhanni.
b.    Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa di-taksis, di-takwil dan di-nasakh, sedangkan ijma tidak. Tetapi, ada kemungkinan bahwa qiyas yang didasarkan pada qiyas lebih kuat dari ijma, karena ijma sendiri harus dilandasi nash. Dengan demikian, ijma bisa dianggap sebagai cabang dari nash yang tidak bisa didahulukan oleh asalnya.
c.    Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
d.   Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
e.    Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan di-nasakh.
f.     Menguatkan qiyas yang yang hukum asalnya bersifat khusus.
3.2.2   Dari Segi Hukum Cabang
a.    Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya.
b.    Menguatkan hukum cabang yang illat-nya diketahui secara qath’i dari yang diketahui secara zhanni.
c.    Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika secara tafshil (rinci).
3.2.3   Dari Segi Illat
3.2.3.1   Dari Segi Cara Penetapan Illat
a.    Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
b.    Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (penguji, analisis, dan pemilahan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian), karena isyarat nash lebih baik daripada dugaan seseorang mujtahid.
3.2.3.2   Dari Sifat Illat
a.    Menguatkan `illat yang bisa diukur dengan `illat yang bersifat relatif dan tidak bisa diukur.
b.  Menguatkan `illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada kasus lain dari `illat yang sifatnya terbatas pada suatu kasus saja.
c.   Menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan pokok (dharuriyyah) dari `illat yang hanya berkaitan dengan kemaslahatan penunjang (hajiyyah). Demikian pula menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan hajiyyah dari `illat yang terkait dengan kemaslahatan pelengkap (tahsiniyyah).
d. Menguatkan `illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, dari `illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.

3.2.4   Dari Segi Faktor Luar
a.    Menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah `illat dari qiyas yang hanya didukung oleh satu `illat.
b. Menguatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat (bagi yang menjadikan fatwa sahabat sebagai salah satu dalil syara`) dari qiyas yang tidak demikian.
c.    Menguatkan qiyas yang `illat berlaku pada seluruh furu` dari`illat yang hanya berlaku pada sebagian furu` saja.
d.   Menguatkan qiyas yang `illatnya didukung oleh sejumlah dalil dari qiyas yang hanya `illatnya hanya didukung oleh satu dalil saja.

Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa perlu sekali adanya tarjih didalam hadits maupun hukum-hukum islam. Karena hal tersebut berkaitan dengan kemaslahatn umat islam.
            Secara bahasa, tarjih ترجح berarti mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. Jumhur Ulama mendefinisikan Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
            Para ulama’ Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan nasakh.
            Cara pentarjihan dapat dikelmpokkan dalam dua kelompok besar yaitu:  
1. الترجح بين النصوص  yaitu menguatkan salah satu nash (ayat ataupun hadits) yang saling bertentangan, 
2. الترجح بين الأقيسة   yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang saling bertentangan.

      
       

[1] Syarhul Isnawy, Juz II Hal. 189
[2] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hal, 195
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,....hal.242
[4] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamy Jilid 2, (Dimashqa: Darul Riqr, 1996), hal.196
[5] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islamy Jilid 2, (Dimashqa: Darul Riqr, 1996), hal.197
[6] Azhar, Ushul Fiqih,.....hal.149
[7] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,....hal.245
[8] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,....hal.247-249